CITA RESMI ATAU DYIAH PITALOKA RELA MATI
DEMI HARGA DIRI DAN KESETIAAN PADA AYAH DAN KERAJAAN
(Judul Asli :Ajen Diri di Tegal Pati)
![]() |
CITA RESMI ATAU DYIAH PITALOKA RELA MATI
DEMI HARGA DIRI DAN KESETIAAN PADA AYAH DAN KERAJAAN
Naskah Naskah Yang Berkaitan dengan Cerita
rajasastra-us.blogspot.com Cita resmi atau Dyiah Pitaloka rela mati demi harga diri dan kesetiaan pada ayahnya dan kerajaan . Ini cerita berkaitan dengan Perang Bubat dalam naskah Sunda. Dalam naskah Sunda Kono juga yang di ceritakan di Tanah Jawa dalam “Paruruton dan Kidung Sundayana”, yang pernah terjadi dibahas lagi. Dalam cerita Parahiyangan disebut “Perang Campuh” kalau dalam “Paruruton” disebutnya “Pasundan Bubat”.
Cita resmi atau Dyiah Pitaloka rela mati demi harga diri dan kesetiaan pada ayahnya dan kerajaan . Dalam “Kidung Sundayana” cerita ini digambarkan hampir secara keseluruhan dan dalam naskah ini menceriterakan apa yang dialami oleh Raja Sunda dan Pengiringnya dalam perang Bubat. Perang Bubat digambarkan sampai bagian yang sekecil-kecilnya, apa lagi yang menjadi penyebab dan akibatnya. Cerita dibangun dalam bentuk puisi Tembang jawa. Namun karena banyaknya penggambaran suasana yang dibikin sedih sehingga jalannya cerita tidak sejalan dengan kejadian sebetulnya.
Sementara Naskah Kuno yang membahas kejadian perang Bubat yaitu Naskah “Pangeran Wisangkerta yang disusun dalam akhir abad ke-17 kalau dibaca secara teliti dapat pada tragedy kejadian tersebut.
Cerita Perang Bubat
Dalam waktu yang telah ditentukan yaitu bulan Agustus 1357 Prabu Maharaja Bersama rombongan berangkat ke Maja Pahit mau menikahkan Putrinya yang bernama Dewi Citaresmi atau yang dikenal pula Dyia Pitaloka. Usia Citaresmi pada waktu itu 18 tahun. Ibunya tidak ikut berangkat karena putranya yang dua masih kecil, Niskala Wastyukencana baru berusia 9 tahun dan Ratna Parwati masih bayi.
Berangkat dari Kawali berjalan kaki sampai Pelabuhan Muara Gunung Jati (Di basisir Gunung Jati di Cirebon Sekarang. Dari Muara Jati naik perahu layer menyebrang lautan menuju kearah Timur mengarah ke Basisir selatan Tanah Jawa dan melewati selat Madura dan sampai di muara Sungai Brantas, akhirnya sampai Pelabuhan Bubat (daerah Mojo Kerto Sekarang) Rombongan akhirnya berhenti dan naik ke darat dan beristirahat.
Sesampainya ke Bubat, Prabu Maharaja merasa heran karena hampir sampai ke pusatr Kerajaan Maja Pahit tidak ada yang menjemput dari pribumi sebagai mana mestinya. Padahal rombongan itu adalah Rombongan Raja dari kerajaan lain apalagi ini rombongan Calon Suami Raja Kerajaan Maja Pahit Hayam Wuruk.
Prabu Maharaja mengirim utusan bahwa rombongan Calon Pengantin sudah hampir sampai, Tapi Jawaban Gajah Mada yang menjadi pemimpin rombongan dari Maja Pahit sungguh menyakitkan hati dan merendahkan pihak Prabu Maharaja dan negaranya. Kata Gajah Mada Putri Sunda harus dipasrahkan sebagai upeti suatu tanda bahwa Kerajaan Sunda tunduk menjadi bawahan Maja Pahit. Kalau tidak mau Rombongan Kerajaan Sunda akan di bunuh oleh pihak Kerajaan Maja Pahit.
Tentu saja Raja Bersama rombongan merasa dihina dan dalam tekad yang kuat untuk menjaga kehormatan diri dan negara. Prabu Maharajadan dan rombongan bersumpah daripada menyerah lebih baik mati, akhirnya terjadlah perang yang disebut “Perang Bubat” terjadinya perang Bubat di Tegal Bubat Hari Selasa tanggal 13 paropeteng Bulan Bhadrawada tahun 1276 Saka (4 September 1357 Masehi.
Dalam peperangan yang memang jumlahnya tak seimbang pasukan Kerajaan Sunda berusaha melawan memporak-porandakan pasukan Maja Pahit. Akhirnya Prabu Maharaja terbunuh beserta rombongan kerajaan. Melihat Ayahnya meninggal Dewi Cita Resmi mengambil senjata milik pribadinya Patrem, Dia menusukan Patrem tersebut ke dirinya. Menandakan kesetiaan kepada Ayahnya menjungjung Harga diri membela negara dan lemah cai.
BACAAN LAINNYA:
- SARUNG SANTRI CERPEN INDAH YANG MENGUNGUGAH EMOSI
- BIANGLALA CINTA SEORANG KELANA BAGIAN 4
- BIANGLALA CINTA SEORANG KELANA BAGIAN 3
Berita dari kejadian tersebut sampai pada Hayam Wuruk. Hayam wuruk mengetahui bahwa Cita Resmi yang menjadi pujaan hatinya telah meninggal merasa sakit dan merasa malu karena terhadaporang Sunda telah berkhianat. Menyayangkan dengan sikap Patih Gajah Mada yang menjadi penyebab runtuhnya kebenaran di Maja Pahit dan matinya Cita resmi yang jadi pujaannya. Secepatnya mayat mayat Putri Cita resmi serta ayahnya dan para pengiringnya di kuburkan dengan kehirmatan sebagaimana pembesar kerajaan. Secepatnya mengirimkan utusan ke Tanah Sunda menjelaskan kejadian dan sekaligus minta maaf.
Hayam Wuruk sakit keras sulit untuk diobati, Dewan Keluarga Keraton berniat menghukum Patih Gajah Mada, tapi Gajah Mada melarikan diri dari pusat negara melarikan diri ke hutan.
Kata Pangeran Wisangkerta di Negarakertabumi saat perang bubat Bumi Sunda bergemuruh dann kejadian Gemba bumi yang besar dan mengalami Gerhana matahari, kata maharesi sunda pertanda bahwa Karajaan Sunda bakal mengalami kejadian yang menyedihkan luar biasa.
Dari sejak kejadian itu dari tragedy yang menyedihkan menjadi lambing Keperwiraan dan kesetiaan Maharaja. Maharaja Namanya menjadi harum serta dicintai orang Sunda sampai sakarang dan mendapat gelar Prabu Wangi. Sejak saat itu raja-raja Sunda yang besar jasanya terhadap rakyat mendapat gelar Prabu Sili Wangi./span>
Dan Gajah Mada bagi orang Sunda termasuk orang Barbar yang haus kekuasaan dan telah menghianati kerajaan Sunda dan Rajanya sendiri. Tak layak jika orang sunda menganggap Gajah Mada Sebagai pahlawan.
Sumber : Terjemahan dari buku “Nu Maranggung dina Sejarah Sunda Karya Edi S Ekadjati
KLIK DI SINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar