BERANDA

Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Desember 2024

MBAH JUM PENDUDUK BUMI YANG BIKIN IRI BIDADARI

MBAH JUM PENDUDUK BUMI YANG BIKIN IRI BIDADARI
Oleh: Askara

MBAH JUM PENDUDUK BUMI YANG BIKIN IRI BIDADARI

Mbah Jum adalah sebuah tokoh cerita yang nyata yang hidup di Bantul  suatu pedesaan di kota Yogyakarta. Ia seorang yang buta, yang berprofesi sebagai pedagang tempe, kesolehan dia luar biasa sulit rasanya ditiru kebanyakan orang keluruhan budi dan dan pengorbanan untuk bersedekah itulah yang membuat seseorang memceritakan sipatnya yang begitu agung sehingga membuat seseorang menceritakan kisah tersebut dalam sebuah cerpen

Selamat membaca dan semoga menginpirasi para pembaca untuk meniru perbuatannya yang begitu agungini

Mbah Jum, begitulah beliau dipanggil. Aku sempat bertemu dengannya 5 tahun yang lalu saat berlibur di Kasian Bantul Yogyakarta. Nama desanya saya lupa.

Mbah Jum seorang tuna netra yang berprofesi sebagai pedagang tempe. Setiap pagi beliau dibonceng cucunya ke pasar untuk berjualan tempe.

Sesampainya dipasar tempe segera digelar. Sambil menunggu pembeli datang, disaat pedagang lain sibuk menghitung uang dan ngerumpi dengan sesama pedagang, mbah Jum selalu bersenandung sholawat.

Cucunya meninggalkan mbah Jum sebentar, karena ia juga bekerja sebagai kuli panggul dipasar itu. Dua jam kemudian, cucunya datang kembali untuk mengantar simbahnya pulang kerumah. 

Tidak sampai 2 jam dagangan tempe mbah Jum sudah habis ludes. Mbah Jum selalu pulang paling awal dibanding pedagang lainnya.

Sebelum pulang mbah Jum selalu meminta cucunya menghitung uang hasil dagangannya dulu. Bila cucunya menyebut angka lebih dari 50 ribu rupiah, mbah Jum selalu minta cucunya mampir ke masjid untuk memasukkan uang lebihnya itu ke kotak amal.

Saat kutanya : “kenapa begitu ?”

“Karena kata simbah modal simbah bikin tempe Cuma 20 ribu. Harusnya simbah paling banyak dapetnya yaa 50 ribu. Kalau sampai lebih berarti itu punyanya gusti Allah, harus dikembalikan lagi. Lha rumahnya gusti Allah kan dimasjid mbak, makanya kalau dapet lebih dari 50 ribu, saya diminta simbah masukkin uang lebihnya kemasjid.”

“Lho, kalo sampai lebih dari 50 ribu, itukan hak simbah, kan artinya simbah saat itu bawa tempe lebih banyak to ?” Tanyaku lagi

“Nggak mbak. Simbah itu tiap hari bawa tempenya ga berubah-ubah jumlahnya sama.” Cucunya kembali menjelaskan padaku.

“Tapi kenapa hasil penjualan simbah bisa berbeda-beda ?” tanyaku lagi

“Begini mbak, kalau ada yang beli tempe sama simbah, karena simbah tidak bisa melihat, simbah selalu bilang, ambil sendiri kembaliannya. Tapi mereka para pembeli itu selalu bilang, uangnya pas kok mbah, ga ada kembalian. Padahal banyak dari mereka yang beli tempe 5 ribu, ngasih uang 20 ribu. Ada yang beli tempe 10 ribu ngasih uang 50 ribu. Dan mereka semua selalu bilang uangnya pas, ga ada kembalian.

Pernah suatu hari simbah dapat uang 350 ribu. Yaaa 300 ribu nya saya taruh dikotak amal masjid.” Begitu penjelasan sang cucu.

Aku melongo terdiam mendengar penjelasan itu. Disaat semua orang ingin semuanya menjadi uang, bahkan kalau bisa kotorannya sendiripun disulap menjadi uang, tapi ini mbah Jum…?? Aahhh…. Logikaku yang hidup di era kemoderenan jahiliyah ini memang belum sampai.

Sampai rumah pukul 10:00 pagi beliau langsung masak untuk makan siang dan malam. Ternyata mbah Jum juga seorang tukang pijat bayi (begitulah orang dikampung itu menyebutnya). Jadi bila ada anak-anak yang dikeluhkan demam, batuk, pilek, rewel, kejang, diare, muntah-muntah dan lain-lain, biasanya orang tua mereka akan langsung mengantarkan ke rumah mbah Jum.

Bahkan bukan hanya untuk pijat bayi dan anak-anak, mbah Jum juga bisa membantu pemulihan kesehatan bagi orang dewasa yang mengalami keseleo, memar, patah tulang, dan sejenisnya. 

Mbah Jum tidak pernah memberikan tarif untuk jasanya itu, padahal beliau bersedia diganggu 24 jam bila ada yang butuh pertolongannya. Bahkan bila ada yang memberikan imbalan untuk jasanya itu, ia selalu masukan lagi 100% ke kotak amal masjid. Ya ! 100% ! anda kaget ? sama, saya juga kaget.

Ketika aku kembali bertanya : “kenapa harus semuanya dimasukkan ke kotak amal ?”

Mbah Jum memberi penjelasan sambil tersenyum :

“Kulo niki sakjane mboten pinter mijet. Nek wonten sing seger waras mergo dipijet kaleh kulo, niku sanes kulo seng ndamel seger waras, niku kersane gusti Allah. Lha dadose mbayare mboten kaleh kulo, tapi kaleh gusti Allah.” (Saya itu sebenarnya nggak pinter mijit. Kalau ada yang sembuh karena saya pijit, itu bukan karena saya, tapi karena gusti Allah. Jadi bayarnya bukan sama saya, tapi sama gusti Allah).

Lagi-lagi aku terdiam. Lurus menatap wajah keriputnya yang bersih. Ternyata manusia yang datang dari peradaban kapitalis akan terkaget-kaget saat dihadapkan oleh peradaban sedekah tingkat tinggi macam ini. Dimana di era kapitalis orang sekarat saja masih bisa dijadikan lahan bisnis. Jangankan bicara GRATIS dengan menggunakan kartu BPJS saja sudah membuat beberapa oknum medis sinis.

Mbah Jum tinggal bersama 5 orang cucunya. Sebenarnya yang cucu kandung mbah Jum hanya satu, yaitu yang paling besar usia 20 tahun (laki-laki), yang selalu mengantar dan menemani mbah Jum berjualan tempe dipasar. 4 orang cucunya yang lain itu adalah anak-anak yatim piatu dari tetangganya yang dulu rumahnya kebakaran. Masing-masing mereka berumur 12 tahun (laki-laki), 10 tahun (laki-laki), 8 tahun (laki-laki) dan 7 tahun (perempuan).

Dikarenakan kondisinya yang tuna netra sejak lahir, membuat mbah Jum tidak bisa membaca dan menulis, namun ternyata ia hafal 30 juz Al-Quran. Subhanallah…!! Cucunya yang paling besar ternyata guru mengaji untuk anak-anak dikampung mereka. Ke-4 orang cucu-cucu angkatnya ternyata semuanya sudah qatam Al-Quran, bahkan 2 diantaranya sudah ada yang hafal 6 juz dan 2 juz.

“Kulo niki tiang kampong. Mboten saget ningali nopo-nopo ket bayi. Alhamdulillah kersane gusti Allah kulo diparingi berkah, saget apal Quran. Gusti Allah niku bener-bener adil kaleh kulo.” (saya ini orang kampong. Tidak bisa melihat apapun dari bayi. Alhamdulillah kehendak gusti Allah, saya diberi keberkahan, bisa hafal Al-Quran. Gusti Allah itu benar-benar adil sama saya).

itu kata-kata terakhir mbah Jum, sebelum aku pamit pulang. Kupeluk erat dia, kuamati wajahnya. Kurasa saat itu bidadari surga iri melihat mbah Jum, karena kelak para bidadari itu akan menjadi pelayan bagi mbah Jum

Matur nuwun mbah Jum, atas pelajaran sedekah tingkat tinggi 5 tahun yang lalu yang sudah simbah ajarkan pada saya di pelosok desa Yogyakarta.

KLIK RAJA SASTRA DI SINI

Sumber dari kiriman rekan dari sebuah watsaap

Irene Radjiman, @alun2 utara



Jumat, 13 September 2024

TAKDIR DAN CINTA SEBUAH CEPEN YANG BERCERITA TENTANG SUATU REALITA KEHIDUPAN

 TAKDIR DAN CINTA

TAKDIR DAN CINTA

Ibuku adalah lautan tak bertepi. Hilir segala keluh kesah kami anak-anaknya. Kami anak-anaknya adalah sungai-sungai kecil yang sering mengangkut berbagai sampah dan membuangnya ke lautan Ibu. Bahkan termasuk Bapak.

Kakakku, enggan sekolah, enggan bekerja, dan lebih memilih menjadi kelelawar Malioboro. Banyak sampah sering dibawanya pulang. Pernah digebuki preman karena merampas ladang mengamen orang. Pernah digaruk polisi karena mabuk cimeng. Puncaknya adalah ketika ditinggal pergi pacarnya, sampai-sampai kakakku benar-benar menjadi sampah yang mengotori rumah. Suatu hari tiba-tiba saja dia berubah menjadi banteng ketaton, membuat remuk dan pecah segala yang terjamah. Akhirnya kami terpaksa memborgol tangan kakinya dan lalu menyeretnya ke RSJ. Kini, tiap bulan ia harus rutin ke sana guna mengontrol perkembangan psikisnya. Siapa pula yang harus terperas jiwa raganya kalau bukan Ibu?

Bapakku adalah Werkudara yang sering menenggelamkan diri ke lautan tak kasatmata, mencari Dewa Ruci—meski beliau selalu mengingkari itu dengan segala serapahnya terhadap Ibu. Kata Bapak, ia menemukan kesejatian hidup justru bermula ketika Ibu mulai menggadaikan diri kepada kegelapan. Padahal keputusan Bapak melebur sebagai abdi dalem Keraton lah yang menurut kamusku terlalu sering menimbulkan gempa-gempa miris.

Sejak aku lulus SD dan menjadi bintang paling cemerlang, Bapak hanya diam, dan Ibulah yang mengayuh perahu menantang gelombang demiku. Pun ketika aku lulus SLTP dan menjadi komet yang mencengangkan banyak mata, Bapak pun hanya bilang terserah ibumu.

Kadang aku begitu benci Bapak yang telah menemukan Dewa Rucinya. Sebagai seorang pengageng, beliau hanya mendapat limabelas ribu per bulan. Beliau telah memberikan hidupnya kepada orang lain, sementara keluarganya Ibulah yang menghidupi. Kadang aku heran, bagaimana dulu Ibu bisa memilih Bapak?

“Dalam hidup kau harus punya tujuan, Nduk. Jika kau sudah yakin tujuan hidupmu ke mana, maka kejarlah,” ujar Bapak suatu ketika. Membuatku semakin limbung dalam kejengkelan yang aku sembunyikan. Bukankah beliau juga tahu, jer basuki mawa beya? Untuk meraih tujuan diperlukan biaya. Apa yang bisa aku harapkan dari lelaki itu? Apa aku harus memeras keringat Ibu lagi, sementara kedua adikku masih menggeliyut menyusu pula?

“Pengabdian adalah sesuatu yang tak bisa diukur dengan materi. Kau pun akan tahu nanti setelah mengalami,” ujaran itu seperti sebuah pembelaan Bapak atas pilihan hidup yang diambilnya.

Berbilang waktu aku coba memahami apa yang dimaksud Bapak dengan pengabdian itu. Menyaksikan senyumnya yang mengembang penuh kebahagiaan sehabis mementaskan lakon Dewa Ruci di Bangsal Magangan atau juga Bangsal Kencana. Kebanggaan yang diburunya adalah ketika Sultan memuji-mujinya sebagai kebanggaan Keraton.

“Kau lihat siapa para tamu itu tadi, Nduk? Beliau-beliau adalah para pembesar negeri ini. Bapak diperkenankan mengajarkan sesuatu kepada orang-orang besar itu. Kebahagiaan Bapak tak bisa diukur dengan uang.”

Tapi Bapak tak bisa mengajarkan sesuatu yang kau anggap agung itu kepada anak sendiri, sergahku dalam diam. Tak sadarkah Bapak jadi apa Kak Manyu sekarang? Sehelai bulu yang diombang-ambing angin. Menurutku, Ibulah yang sejatinya mengajari kami sesuatu. Kesabaran seluas laut, kekayaan sedalam laut, kekuatan yang tak pernah habis bak gelombang laut yang tak pernah henti. Meski di mata Bapak Ibu adalah tempat segala sampah yang patut dicaci maki!

####

Sarkem, itulah tempat yang selalu dilaknat Bapak dan dianggapnya sebagai penyebab tak langsung kerusakan Kak Manyu. Konon, tempat itu telah menjadi Pasar Kembang yang dipenuhi kupu-kupu malam sejak 125 tahun silam. Seiring dengan proses pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan Kota Suci[1] dengan Batavia, Bogor, Cianjur, Cilacap, dan Surabaya.

Namun tidak buatku. Bagiku, Sarkem adalah tempat lautanku berada. Tempat di mana setiap hari aku mencecap susu kehidupan. Tempat aku menemukan sebuah mutiara termahal; seorang ibu akan lebih merelakan dirinya dimangsa gelap demi hidup anak-anaknya daripada seorang bapak yang seringnya lebih suka mencari-cari kesenangannya sendiri.

“Kau akan meneruskan sekolah ke Jakarta?”

“Aku dapat beasiswa, Ibu.”

“Bagus, Ibu bangga dan akan selalu mendukungmu.”

“Tapi hanya sekadar bea pendidikannya. Untuk biaya hidup aku harus mengaisnya sendiri, Ibu.”

“Raihlah apa yang kamu impikan. Ibu akan membantumu dari sini. Selama ini kau sudah lihat Ibu kan? Ibu saja bisa menghidupi kalian, kenapa kau mesti khawatir tak bisa menghidupi diri sendiri?”

Setitik embun menyejukkan harapanku. Namun beberapa detik kemudian serasa ada yang mencekat tenggorokanku.

“Kok wajahmu layu begitu?”

Bagaimana aku tak layu, Ibu? Berapa lama lagi aku harus menjadi taliputri di rerantingmu? Sampai kapan kau sanggup bertahan merelakan mahkotamu dicabik-cabik ribuan kumbang jalang demi menghidupi keempat bijimu yang belum tentu menjelma pohon kelak?

“Kau ragu dengan ucapan Ibu?”

Aku menggeleng. Aku tak pernah meragukan lautan kasih sayangmu, Ibu.

“Dengar, saat ini Ibu tak bisa mengharapkan kakakmu lagi. Cuma kaulah satu-satunya harapan Ibu. Ibu tak pernah meremehkanmu meski kau seorang perempuan.”

Dadaku bergetar hebat. Cuma aku? Takkah Ibu berharap pada Bapak untuk kembali ke jasad wadag Bima perkasa yang mampu mengayomi seluruh keluarganya? Inikah penyebab Ibu merelakan diri dimangsa gelap? Ibu rela menjadi tumbal kehidupan kami, sementara Bapak lebih asyik bercinta dengan Dewa Rucinya sebagai abdi dalem Keraton?

*          *          *

Betapa sumringahnya wajah lelaki itu sepulangnya dari Bangsal Ksatriyan. Tanpa kupinta, beliau berceloteh sendiri dengan riangnya bahwa surat kekancingan[2] yang kemarin datang kepadanya adalah berkah dari Keraton. Ngarsa Dalem menganugerahinya gelar Kanjeng Pangeran Haryo.

Namun tak ada pesta untuk itu. Selalu tak ada pesta untuk kebahagiaan Bapak. Hidup kami memang bukan bersumber dari pengabdian Bapak. Hidup kami bersumber dari kerelaan Ibu menerima segala serapah termasuk dari mulut Bapak sendiri. Yang ada paling khotbah-khotbah menjemukan yang tak pernah membuat perut kami kenyang.

“Ayo, Nduk,” Bapak menyuruhku gegas. Malas kulangkahkan kaki mengikuti Bapak ke alun-alun Keraton bagian Selatan.

“Perhatikanlah lapangan itu,” sepertinya Dewa Ruci mulai merasuki Bapak lagi.

Jujur, aku lebih suka memandangi hamparan langit biru daripada harus mengunyah ujaran-ujaran Bapak.

“Lapangan itu dikelilingi pakel dan kweni. Di tengah-tengahnya berjajar sepasang pohon beringin yang bagian atasnya dipangkas. Semua pohon-pohon itu dikelilingi pagar beton. Semua itu memang sengaja diatur sedemikian rupa, Nduk. Tak cuma alun-alun bagian Selatan ini, tapi seluruh tatanan Keraton juga. Semuanya memiliki makna simbolis. Sebenarnya Ngarsa dalem ingin mengajari nilai-nilai luhur untuk semua rakyatnya.”

Apakah semua itu bisa mengenyangkan perut kami, Pak?

“Pakel melambangkan akil balig atau kedewasaan. Kweni melambangkan wani atau keberanian. Beringin kembar itu melambangkan kemaluan yang sudah disunat. Sedangkan pagar beton melambangkan bahwa kemaluan mestilah ditutupi atau disembunyikan. Zaman sekarang, banyak sekali pakel, kweni, ataupun beringin yang tak lagi dibetoni. Setelah akil balig, setelah merasa memiliki keberanian, mereka tak segan-segan lagi mengumbar semua. Kau lihat ibumu itu?...”

Dan, kembali mengalirlah sampah-sampah itu dari mulut agung Bapak.

Kadangkala aku merasa aneh dengan kehidupanku. Aku dilahirkan dari Bapak yang selalu merasa dirinya sebagai cahaya dan Ibu yang selalu merasa dirinya penuh gelap. Bagaimana dulu mereka bisa bersatu dan menghadirkan kami? Mungkin semua itu terjadi dalam sebuah peristiwa yang sulit dan meyakitkan. Seperti ketika kau berada di antara gelap dan terang secara bersamaan. Bisakah kau membayangkannya?

“Kami sudah berdamai dengan masa-masa pertengkaran, Nduk,” ujar Ibu suatu ketika. Sesuatu hal yang sulit kubayangkan bagaimana alurnya.

“Kau lihat para pedagang itu?” tutur Bapak sewaktu kami menyusuri Jalan Malioboro hingga alun-alun Istana. “Mereka sebenarnya sedang bertengkar dengan kehidupan. Tapi mereka sudah bisa berdamai dengan hal itu.”

Aku masih hanya diam. Kesulitan mencerna.

“Karena ada satu hal yang mereka perjuangkan,” suara Ibu dan Bapak berbaur jadi satu.

“Kalian, anak-anakku…”

Ada yang merembes ke dalam dadaku. Rasanya seperti air mata, tapi sejuk nian.


(Sumber di ambil dari Blog  Adi Zamzam,)

Senin, 02 September 2024

YU KITA MENIKMATI CERPEN PENGARANG TERNAMA IWAN SIMATUPANG DENGAN JUDUL TUNGGU AKU DI POJOK JALAN

YU KITA MENIKMATI CERPEN PENGARANG TERNAMA IWAN SIMATUPANG DENGAN JUDUL  TUNGGU AKU DI POJOK JALAN

TUNGGU AKU DI POJOK JALAN

rajasatra-us.blogspot.com Tunggu Aku Di Pojok Jalan adalah salah satu Cerpen buah karya pengarang ternama  bernama Iwan Simatupang. Iwan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatra Utara, tanggal 18 Januari 1928 dengan nama Iwan Martua Dongan Simatupang.ia seorang Sastrawanth 1960-an  Karya-karya nya bersifat inkonvensional dan karena itu dianggap pembawa angin baru dalam kesusastraan Indonesia. Iwan meninggal dunia tanggal 4 Agustus 1970 di Jakarta. 

Selama hidupnya ia menulis empat novel, yaitu : 

(1) Merahnya Merah (1968), 

(2) Ziarah (1969), 

(3) Kering (1969), dan 

(4) Koong (1975). 

Dia pernah mendapat penghargaan Hadiah 

Sastra Asia (SEA Write Award) dari Thailand atas karya novelnya Ziarah pada tahun 1977. 

Novelnya Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970 dan 

novelnya Kooong (1975; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, 1975). Dua novelnya Ziarah 

(The Pilgrim, 1975) dan Kering (Drought,1978) diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris. Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Tegak Lurus dengan Langit (1982), sedangkan puisi-puisinya dalam Ziarah Malam (1993). A. Teeuw menyatakan bahwa barangkali ialah pengarang Indonesia yang waktu itu mendapat sorotan paling banyak, baik oleh pengamat sastra di dalam negeri maupun di luar negeri. H.B. Jassin menyatakan bahwa Iwan Simatupang sanggup melukiskan dengan jernih jalan pikiran tokoh-tokohnya

Rupanya tentang Riwayat hidup Iwan Simatupang dapat dicari dalam sumber lain, selanjutnya saya akan membawa penulis untuk mengapresiasi Cerpen Iwan Simatupang yang berjudul “Tunggu Aku Di Pojok Jalan”

TUNGGU AKU DI POJOK JALAN ITU

(Iwan Simatupang)

Majalah Sastra, I/7, 1961

“Tunggu aku di pojok jalan itu,” katanya. “Aku beli rokok dulu ke warung sana.”

Ia pergi. Sejak itu, istrinya tak pernah melihatnya lagi. Sepuluh tahun kemudian, ia kembali ke kota itu. Dilihatnya istrinya masih menunggu di pojok jalan itu.

“Selamat sore,” sapa istrinya.

“Selamat sore,” sahutnya.

Ia mengharap lebih dari hanya selamat sore. Tetapi, istrinya tak lagi berkata apa. Ia cepat berpaling kepada laki-laki lain yang datang menghampirinya. Kepadanya ia juga memasang muka manis, dan menyapa, “Selamat sore.”

Laki-laki itu tak menjawab, tetapi terus saja menjentik pipi istrinya. Mereka bercakap sebentar. Berpegangan tangan, mereka kemudian menyusuri kakilima.

Ia memburu istrinya. Tetapi dilihatnya wajah istrinya sangat terusik.

“Selamat sore!” kata istrinya lagi.

Suaranya sangat saran dengan anjuran keras jangan mengganggu lagi.

Lama ia tegak termangu di bawah lentera pojok jalan itu. Angin malam sangat dingin. Leher bajunya ditegakkannya. Langkah-langkahnya yang lambat berangkat dari tempat itu menjalin perasaannya ke dalam kenangannya. Ia mengerti! Keratasapuan biru di langit malam yang masih muda, menyiramkan kesejukan maaf ke dalam dadanya.

Ia tersenyum, menganggukkan kepalanya. Cepat langkah-langkahnya menuju hotel kecil tempat ia menginap. Bersiul kecil, ia mengambil kunci kamarnya dari kantor pengusaha hotel.

“Agaknya kota kami menyenangkan Tuan?” sapa pengusaha hotel, seorang janda gemuk, lewat lima puluhan.

“Sangat menyenangkan,” sahutnya. “Mungkin saya menetap di sini.”

“Syukur.”

Otaknya cepat menghitung uang bayar makan per bulan yang akan dimintanya dari tamu yang tampaknya selalu riang ini. Di kamar mandi, dia ini senantiasa menyanyikan lagu-lagu yang kebetulan juga kesukaannya. Tetapi ia sangat heran, ketika tamunya itu menolak dipinjami gramofon bersama piringan hitam dari justru lagu-lagu yang dinyanyikannya di kamar mandi itu.

“Saya suka Tuan menyukainya,” katanya kecewa.

“Menyukainya tak harus berarti kita menjadi budaknya.”

Ia berusaha keras jangan melukai hati perempuan itu.

“Tuan sakit?” tanya janda itu sejam kemudian mengetuk pintu kamarnya. Di tangannya sepiring sup panas.

“Tidak,” sahutnya ramah. Hatinya mengutuk perempuan gemuk jelek yang tampaknya ingin mengobral kebaikan hati itu.

“Mengapa Tuan tidak pergi jalan-jalan? Di musim begini, kota kami paling indah.” Ia letakkan sup di atas meja. Dan, sambungnya genit, “Kota kami terkenal wanita-wanita cantiknya.” Ia mengedipkan mata kirinya.

“Mungkin besok. Tetapi malam ini, terang tidak.”

Dengan hormat sekali, ia untuk kedua kalinya malam itu berusaha jangan terlalu melukai perempuan itu. Pelan-pelan ia mengiringnya keluar pintu.

“Selamat sore,” sapanya sekali lagi, petang esoknya.

“Selamat sore.”

Nada suara istrinya seperti kemarin. Lurus, dangkal. Netral, seperti netralnya keindahan barang-barang di balik kaca pajangan.

Ia melihat ke sekeliling. Tak ada laki-laki lain. Ia hampiri istrinya. Istrinya memandanginya. Persis pandangan pedagang jagal sapi pada langganan yang baru masuk kedainya.

Bingung ia dibuat pandangan seperti itu. Danau biru bening yang ditinggalkannya sepuluh tahun lalu pada kedua mata itu, tak ditemuinya. Tiba-tiba satu rasa yang khas menusuk masuk ke dalam dirinya. Rasa, yang menyuruh ia cepat berpaling saja, lari meninggalkan istrinya. Tetapi, niatnya ini dibatalkan segera oleh satu bau di udara. Bau minyak wangi dan pupur harga murah.

Ia terkejut sekali! Berbeda bau ini dari minyak wangi yang dulu acap dibelinya bagi istrinya. Memang, tak sering ia membelinya. Tetapi, sekali ia beli, pastilah itu dari jenis paling bagus, paling mahal. Bau ini dapat memuncakkan segala kasih birahinya kepada istrinya.

Satu rangsang nakal hinggap atas pelupuk matanya. Ia ingin tajam-tajam memandang dalam mata istrinya. Kalau perlu, dengan segala risiko yang dibawa oleh pandangan nakal serupa itu.

Tetapi… di luar dugaannya, istrinya sedikit pun tak menundukkan kepalanya. Dengan usaha untuk di saat terakhir mempertahankan dirinya, ia membalas tatapan mata suaminya itu. Untuk suatu ketika, mereka saling berpandangan, menerobos ke lubuk jiwa masing-masing.

Tetapi, bintang-bintang di langit malam yang berangkat tua, memberi kodrat lain pada pertemuan pandang seperti itu. Apakah arti sepuluh tahun di bumi bagi bintang-bintang di ruang angkasa?

Sebelum keduanya tahu apa-apa, keduanya telah menemui diri mereka dalam pelukan pihak lain. Mata mereka basah. Bibir mereka berkali-kali saling bersentuhan. Sentuhan, yang dengan paksa membuka pintu besi berkarat ke masa lampau.

Tangan mereka saling berpegangan. Keduanya tak tahu mau mengungsikan ke mana bahagia mereka malam ini.

“Ke mana?” tanya istrinya.

Ke mana? Ya, Allah! Sesudah sepuluh tahun, ia masih juga belum dapat menjawab pertanyaan serupa itu. Dirinya adalah justru tanya itu sendiri, bukan jawabnya.

“Entah,” bisiknya. Bisik, antara bisik dan usaha untuk … namun tak menyia-nyiakan malam ini.

“Kau masih seperti dahulu juga,” kelakar istrinya.

Suara itu menyatakan dakwaan yang mengambang dalam kasmaran yang telah memperbarui dirinya kembali.

“Aku masih tetap aku,” jawabnya. Tangan istrinya semakin erat digenggamnya. Keduanya tak adapat memulai percakapan biasa. Dada mereka terlalu sesak. Kata-kata mereka sangkut di kerongkongan, untuk kemudian mereka telan kembali bersama ludah asin.

Mereka sampai di ujung kakilima. Mereka berhenti. Persimpangan jalan yang dihadapi itu sangat membingungkan. Ia selalu dibingungkan oleh sekian arah sekaligus. Pandangnya dilarikannya ke bintang-bintang langit malam. Lama ia menatapnya, sambil mendengarkan pernapasan istrinya yang tegak di sampingnya. Pelan mereka membalik, menyusuri kakilima itu kembali.

“Ya. Tampaknya kau masih tetap kau juga,” kata istrinya.

Ia terkejut. Suatu nada asing ditemuinya pada suara istrinya.

“Mengapa kau terkejut?” tanya istrinya.

“Kau bukan kau lagi.”

“Aku masih saja… menunggu,” sahut istrinya.

Ia berusaha memperdengarkan suara sungguh-sungguh.

“Ya. Kulihat kemarin.”

“Habis, kau suruh aku menunggu….”

Tiba-tiba mereka merasa yang sepuluh tahun itu telah menghadirkan dirinya antara mereka. Kehadiran, yang dipantulkan bintang-bintang di langit, yang berkedip telah jutaan tahun. Gong dalam hati sanubari mereka berbunyi. Gong! Yang menyatakan gugurnya babak bagi mungkinnya mereka bersatu kembali di masa datang.

Suatu benci mengental dalam dirinya. semua pada wanita yang tegak di sampingnya ini dibencinya. Sangat dibencinya! Minyak wanginya, pupurnya, cat bibirnya, cat kukunya, gaunnya dari sutra hijau. Semua dari harga murah, dengan hanya tugas: merangsang birahi jalang pada laki-laki.

Baca yang lainnya:

Tiba-tiba saja ia memutuskan bagi dirinya, bahwa wanita yang berjalan di sampingnya ini pada hakikatnya adalah sama saja dengan wanita-wanita lainnya yang pernah ditegurnya di kaki-kaki lima. suatu rasa asing merebut dirinya. Napasnya mulai panas, sesak.

“Mari!” bisiknya, padat dengan birahi.

“Ke mana?” tanya istrinya. Pengalamannya selama sepuluh tahun ini cepat dapat menerka makna pegangan tangan dan tarikan napas laki-laki seperti itu.

“Masa kau tak tahu. Ayo!”

Istrinya tersenyum. Sejenak, ia menatapi suaminya baik-baik. Matanya menyatakan penjungkiran suatu harapan yang hampir berhasil dibangunnya. Sinar gaib memancar dari kedua bola matanya. Sinar dari penderitaan selama (dan pembalasan untuk) sepuluh tahun. Senyum bibirnya sejak itu memiliki kepastian.

“Ayo! Mari…,” desaknya lagi.

Berpegangan tangan erat sekali mereka berdua pergi dari pojok jalan itu. Langkah-langkahnya doyong, diseret oleh langkah-langkah pasti istrinya. Tiba-tiba istrinya berhenti.

“Tunggu dulu!” katanya, sambil mengetuk tangan suaminya.

“Ada apa?”

“Tarifku dua ratus sampai tengah malam. Sampai pagi, dobel….”

Seperti kena sambar halilintar di siang bolong, tubuhnya menjadi kejang dan kelu. Mukanya pucat pasi. Ludah basi dan asin sekali dengan kentalnya merekatkan geraham-gerahamnya. Pandangannya pudar, makin pudar. ia melihat segumpal bayang saja lagi.

Tetapi tak lama kiamat kecil ini berlangsung dalam dirinya. Pelan-pelan ia bangkit kembali dari titik nadir kesadarannya dan naik ke titik zenith-nya untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan tentang dirinya di dalam pertautan persoalan antara dia, istrinya, dan seluruh alam raya. Ia mengerti!     DI SINI    

Pelan-pelan getar-getar kecil tadi datang kembali, makin lama makin banyak. Napasnya, tubuhnya, kembali membara. Akhirnya, ia dapat memulihkan kembali garis-garis profil wajah istrinya, wajah yang tersenyum menantang, tersenyum menang….

Esok paginya, dengan kereta api pertama yang berangkat subuh, ia meninggalkan kota itu. Ia telah memutuskan untuk mencari kota lain saja tempat ia menetap.

Petangnya, di bawah lentera di pojok sebuah jalan di kota itu, seorang wanita dalam gaun sutra hijau menunggu…, menunggu laki-laki mana saja. Kepada mereka yang datang kepadanya ia selalu berseru, “Selamat sore….”

(Disalin dari Tegak Lurus dengan Langit, Lima Belas Cerita Pendek Iwan Simatupang, Penerbit Sinar Harapan, cetakan II, 1985)

DI SIN 

Jumat, 30 Agustus 2024

ZIARAH CERPEN ADI ZAMZAM DALAM PERJUANGAN CINTA YANG MENGHARUKAN

ZIARAH CERPEN ADI ZAMZAM 

DALAM PERJUANGAN CINTA YANG MENGHARUKAN 

(Karya Adi Zamzam)

ZIARAH CERPEN ADI ZAMZAM DALAM PERJUANGAN CINTA YANG MENGHARUKAN


rajasastra-us.blogspot.com

Berkenalan dengan pengarang

Sbelum membaca cerpen tersebut taka da salahnya saya perkenalkan dulu penulis cerpen ini:

Adi Zamzam adalah nama pena Nur Hadi, kelahiran Jepara, 1 Januari 1982, yang tinggal RT 11 RW 03 Desa Banyuputih, Gang Masjid Baitush Shamad, Kalinyamatan Jepara. Tulisannya bisa dibaca di blog pribadi, Langitsemestacerita.blogspot.com. Cerpennya dimuat di berbagai media massa. Dia menulis cerita bersambung di Majalah Kartini, Femina, dan Annida-Online. Dia juga menulis puisi, resensi buku, opini, dan esai di berbagai media. Bersama kawan-kawan, saat ini aktif di sekolah kepenulisan Akademi Menulis Jepara. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit  Laba-laba yang Terus Merajut Sarangnya (UNSA Press, 2016), Menunggu Musim Kupu-kupu (Basabasi/Diva Press Grup, 2018), Hanya Firman


ZIARAH

(Karya Adi Zamzam)


Suara gemuruh itu mengagetkan Nono yang tengah memunguti perangkap kepiting yang ia pasang kemarin sore. Kedua matanya langsung mengawasi pergerakan air. Suara kecipak air beradu dengan akar-akar bakau kembali terdengar jelas setelah gemuruh yang mengagetkannya menghilang.

“Satu lagi yang kalah dan tumbang,” batin Nono, sebelum beralih memandangi rumahnya yang tak jauh dari posisinya. Rumah itu tampak tua, lelah, dan kesepian.

Cahaya pagi menerobos celah-celah bakau. Namun, di sepanjang kanal yang memisahkan Nono dari rumah, bias cahaya itu tetap menyilaukan juga.

Satu perangkap ia angkat. Satu-dua kepiting bakau membuat kantuknya menghilang. Sesekali pandangannya kosong menembus jauh ke dalam air payau yang keruh, sesekali juga jauh menelusup di antara barisan acak pohon bakau.

Dalam kesunyian itu, kadang Nono seperti mendengar suara bus, meski sadar bus-bus itu tak lagi ada. Namun, kadang kala Nono ingin menikmati kenangan itu; saat air tawar dan air asin damai berdampingan. Sewaktu Bedono masih dikelilingi sawah dan pantainya ramai pengunjung yang sekadar ingin menikmati kuliner. Dan, ia begitu penuh semangat menjajakan aneka olahan hasil laut kepada mereka. Beberapa bahkan menjadi pelanggan tetap.

Dari situlah sejarahnya dengan Marni bermula. Ia memberanikan diri melamar Marni, meski perekonomiannya belum jaya. Bermodal niat, keyakinan, dan kepercayaan Marni, ia pun menghadap calon mertua.

Nono tidak pandai memoles diri dengan omongan. Ia pesimistis ketika bapak Marni menyuruhnya pulang dan menunggu jawaban sepekan kemudian.

Nono ingin membeli sepeda sebagai bukti ia punya penghasilan. Namun Marni melarang. Lebih baik menabung untuk membangun rumah. Lihatlah, saudara Marni banyak. Kalau tak memisahkan diri dari orang tua, mereka tak akan mendapatkan keleluasaan penuh.

“Lalu mengapa bapakmu menyuruh menunggu jawaban?”

Marni menjawab, “Bukankah itu lumrah?”

Namun, Nono stres saat mendengar selentingan kabar, Pak Zamroni ingin menawarkan anak mbarep dulu. Perempuan jika sudah dilangkahi adik perempuannya, bisa tak laku-laku nanti.

Dan, kekhawatiran Nono ternyata benar. Ia ditawari mengambil kakak Marni saja. Nono terdiam hingga pulang.

Nono tak berani lagi datang ke rumah Marni. Ia berharap segera ada lelaki lain yang datang untuk melamar mbakyu Marni. Sampai gantian Marni yang mendatanginya.

“Sebenarnya Bapak hanya menguji kesungguhanmu denganku. Datanglah lagi. Lalu bilang lagi,” kata Marni menyemangati.

Nono lega. Bukan hanya lantaran ia telah mengetahui ujian dari calon mertuanya itu. Hikmahnya, ia jadi tahu kesungguhan Marni. Inilah yang kemudian ia sebut berjodoh. Dan, mereka pun akhirnya menikah.

Saat itu pantai masih jauh, dan malam-malam tak pernah dihantui kecemasan seperti sekarang.

Rumah itu ia bangun justru ketika sadar pantai itu mendekat. Semua orang kebingungan. Dan, setiap hari mereka berusaha melawan dengan aneka benda yang bisa dijadikan bendungan lantaran membeli tanah uruk butuh biaya besar.

“Kita bangun sajalah, Kang. Pantai kan memang begitu, maju-mundur. Kalau ndak mulai sekarang, nanti malah ndak jadi-jadi,” ujar Marni ketika Nono didera kekhawatiran akan fenomena itu.

Pantai sudah jelas bergerak mendekati perkampungan.

Mereka pun sepakat membangun rumah. Berusaha merajut kebahagiaan, meski enam tahun bersama belum juga dikaruniai keturunan. Nono pun berpikir, sepertinya cobaan hidup naik selevel demi selevel mengikuti umur.

Dulu, saat membayangkan bisa membangun rumah sendiri, kebahagiaan akan sempurna di hati Nono. Ia yatim sejak kecil. Sementara ketiga saudaranya terpencar setelah masing-masing diadopsi orang. Bapaknya tak pernah pulang dari melaut saat umurnya masih tujuh. Ia bahkan belum paham apa arti air mata emaknya yang keluar tiap kali memandangi keempat anaknya saat makan bersama berlauk ikan asin buatan sendiri. Makan yang lebih sering dua kali sehari.

Bisa membangun rumah adalah kemewahan tersendiri bagi Nono. Setidaknya ia tidak mengecewakan dan bisa membuktikan diri di hadapan mertua. Meski kesunyian kemudian menjadi musuh tersendiri yang harus ia terima dan hadapi.

***

Nono mendapati kepulangan Marni kala jelang siang.

“Hari ini semua kepiting habis lagi, diborong juragan rumah makan dari Kudus.”

Seperti biasa, tak ada keluhan. Setelah membongkar oleh-oleh dari pasar, ia ganti menjenguk keranjang penghasilan Nono. Bila penghasilan Nono terlalu sedikit, biasanya Marni akan gegas ke rumah Supri atau Ujang untuk menanyakan apakah mereka punya barang (bisa kepiting, kerang, atau ikan-ikan) berlebih untuk dijual besok pagi. Dulu mereka bertetangga, kemudian hijrah ke kampung tetangga yang masih utuh daratan.

“Airnya tambah keruh. Dan sepertinya ucapan mahasiswa dari Semarang itu benar. Laut akan bertambah tinggi terus,” sahut Nono setelah mengambilkan cerek berisi air minum untuk istrinya.

“Tadi aku melihat orang-orang kampung yang sudah diajari cara mengolah buah bakau. Jenang dan sirup bikinan mereka laris sekali. Aku jadi ingat waktu kau kali pertama membuat kerupuk tengiri dulu.”

Marni menyandarkan punggung ke tembok rumah. Genangan air hanya setengah meteran dari ujung kakinya.

Percakapan yang tidak nyambung. Namun kalian sepenuhnya mengerti itu sekadar usaha mengelabui sunyi yang menyelinap di antara suara kecipak air, desau angin, dan sesekali kicau burung-burung yang singgah di sesela bakau.

“Aku tadi dikasih jenang buatan Ikah. Sisanya aku kasihkan si Endut, anak Pat. Lucu sekali anak itu. Sayang dia nangis mulu kalau mau kuajak ke sini. Takut setan, katanya. Ha-ha-ha, entah siapa yang mengajari.”

Nono mengerti maksud kalimat itu. Ia juga suka pada Gimbut, anak Mugni. Sama saja. Anak itu juga takut diajak ke sini. Takut genderuwo, katanya.

“Aku jadi ingin tahu apa yang mereka buat. Orang-orang PKK kan? Siapa tahu aku bisa bikin,” ujar Nono, yang lalu memangku keranjang yang sudah kosong. Semua kepiting yang diikat sudah dikelompok-kelompokkan berdasar ukuran.

“Buat apa sih, Pak?” potong Marni dengan nada malas.

Nono memandang istrinya. Heran. Kemudian beralih ke deretan pohon bakau. Hanya sisa bangunan-bangunan tua yang harus berjuang melawan korosi air laut. Padahal, dua puluh lima tahun silam Nono masih bisa bercengkerama dengan banyak tetangga di teras rumah ini. Dan, suara bus itu bukanlah hal yang absurd, seperti sekarang.

***

Nono tersentak bangun ketika suara kecipak air memenuhi semesta pendengarannya. Ia pikir air hanya menggempur habis-habisan dinding samping rumah seperti biasa. Namun, entah bagaimana tiba-tiba ia sudah terkepung air. Nono terapung-apung seorang diri di tengah lautan lepas.

“Marnii!” teriaknya begitu teringat sang istri.

Berbekal satu dayung, Nono melajukan perahu dengan kalap, tanpa tujuan.

“Marnii!” teriaknya lagi, tak kuasa membendung kedatangan kenangan-kenangan.

“Apa yang akan kita lakukan andai kampung kita benar-benar tenggelam?”

“Kang Nono omong apa sih? Kalau kampung kita tenggelam, berarti akan ada banjir besar. Dan itu berarti….”

“Takkah kaulihat itu, air laut terus saja mendekat.”

“Orang-orang sudah melawan.”

“Apa? Hanya dengan tumpukan karung pasir, batako, kayu, dan sampah-sampah begitu?”

“Lantas harus dengan apa? Apa lebih baik jual rumah tanah seperti yang lain?”

“Kenapa tak mau?”

“Bapak-ibuku dan sebagian besar keluargaku dimakamkan di sini. Lagipula, siapa mau beli?”

Hening.

Entah sudah berapa lama Nono terlelap di dalam perahu. Ia merasa aneh ketika sejauh ia mendayung perahu, daratan tak juga tertangkap mata. Hingga ia kelelahan. Dan, suara Marni menyeruak lagi.

“Masa depan apa sih, Kang?”

“Masa kamu tidak ingin hidup bahagia, seperti orang-orang?”

“Aku sudah cukup!”

***

Nono tersentak kaget ketika bangun dalam keadaan basah. Air pasang ternyata telah membasahi lantai rumah.

“Bangun, Mar! Ayo bangun!”

O, nikmat apa yang mampu membuatnya tidur sepulas dan selama tadi? Matahari bahkan sudah sempurna tenggelam. Nanti sajalah urusan mandi. Seperti dua hari sebelumnya, ia harus mendahulukan semua perabot rumah sebelum semua diporandakan air laut yang lancang masuk rumah. Saat melewati galengan yang ia buat menuju kanal utama, air telah melewati lutut.

Hampir satu jam semua perabot yang ia punya akhirnya beralih ke atas perahu. Siluet  di atas perahu menyatu dengan bayang-bayang pepohonan bakau.

“Tak ada lagi yang tertinggal kan?” tanya Nono.

Setelah memeriksa kekuatan tali yang mengikat perahu ke sebuah pohon bakau, Nono pun kembali ke dalam rumah. Ia pandangi setiap inci dengan penuh kerinduan. Pun dengan sosok yang tak bisa lagi ia jumpai di situ, meski suaranya masih bisa ia dengar setiap saat, setiap kali ingin.

BACAAN LAINNYA:

Seperti tiga hari yang sudah berjalan, beranjak malam adalah waktu ia meninggalkan tempat penuh kenangan itu. Di depan dua pasang patok pinus laut yang tertancap cukup dalam di samping rumah, ia menyandarkan perahu sejenak di situ. Itulah nisan ketiga setelah dua nisan sebelumnya menghumus di dalam laut.

“Aku pergi dulu, Mar. Besok aku pasti kembali,” ujarnya sembari membelokkan perahu. “Tidak, aku tidak pernah meninggalkanmu,” ujarnya kemudian, sembari mengayuh perahu pelan, sepelan air matanya yang diam-diam meleleh tanpa kendali.

“Di rumah inilah kita sama-sama pernah menanam cita-cita bersama,” sambungnya. Perih. “Kenangan yang layak diziarahi setiap hari.”

Dia berusaha kembali tegar, untuk terus mengayuh perahu, menuju daratan.

 KLIK DI SINI

Jepara-Demak, 2018-2021

 

Catatan:

Anak mbarep: anak sulung

Galengan: pematang; berfungsi sebagai tanggul.

Kamis, 29 Agustus 2024

ANTARA HIDUP DAN KEMATIAN

 

ANTARA HIDUP DAN KEMATIAN

Oleh :  Undang Sumargana

ANTARA HIDUP DAN KEMATIAN
rajasastra-us.blogspot.com- Serasa hidup dalam gulita, walau cakrawala masih berhiaskan bintang. Serasa hanyut dalam derita walau ombak tak menyentuh tepian. Musik malam terdengar dipepohonan, terdengar seperti irama nynyian bidadari, yang merintih nyanyikan kidung rindu dalam nestapa dan irama derita yang tak berujung.

Tiba-tiba aku berpikir tentang makna hidup dan kematian,

“Hidup adalah perjuangan,  hidup adalah penantian”

‘Ya penantian  menunggu kematian”

“tidak hanya menunggu” terlihat bayangan lain yang larut dalam percakapan yang tiada berpangkal.

“Kalau tidak menunggu?”, karena tak ditunggupun kematian pasti datang menjemput,

“Sebelum tiba?’

“Ya berbuat” bayangan itu menjawab sambil tertawa sinis.

“ Kalau tak berbuat? “ Kataku

“Itulah yang dikatakan mati dalam kehidupan”

Aku semakin tak mengerti, dalam hati aku mengeruti ko, ada orang yang mati  dalam kehidupan,  apa ya maksudnya?.

“ada orang yang mati dalam kehidupan , ada pula orang yang hidup dalam kematian”  Bayangan  itu bertutur dengan  dengan serieus,  mengajak aku berdialog, dan membuat pikiranku semakin tak mengerti.

“Maksudnya?” kataku penasaran.

“orang yang mati dalam kehidupan adalah, orang menyia-nyiakan waktu semasa hidupnya,  tak mampu mengukir arti, dan tak mampu memberi manfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain”.

“Kalau orang yang hidup dalam kematian?” kataku semakin penasaran.

“Orang yang hidup dalam kematian adalah orang-orang yang beruntung , yang mendapat karunia Allah karena perbuatan yang baik waktu di dunia, memberi manfaat kepada diri sendiri dan orang lain”.

“Jika tak berbuat baik?”

“Celakalah orang seperti itu, sudah matipun akan mendapat kepedihan siksa dan adzab Allah yang sakit luar biasa”

“Masya Allah aku berkata lirih dalam hati”.

“jadi kesimpulannya , di balik kehidupan ada kematian dan di balik kematian ada kehidupan”

“Yah”  Kata bayangan itu menjawab singkat , dan menghilang tergesa, gesa.

Aku baru sadar dan berpikir dengan keras,  tentang makna kematian dan kehidupan.

Malam semakin larut, tapi suara ombak di lautan masih tetap bergemuruh,  tapi gemuruh ombak tersebut seolah-olah terdengar   berdzikir mengagungkan nama Allah,  Cahaya terang terlihat di tengah lautan,  seolah pancaran Cahya Illahi yang menyambut kedatangan para malaikat, mengiringi suara takdir yang terus bergema, diiringi petikan musik alami yang terdengar dari musik alam seolah-olah petikan musik melankolis yang kemerduan bunyinya tiada tara.

BACAAN LAINNYA

LA  ILLAH HA ILLALAH, MUHAM MADAROSULLULL

Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, muhammadlah orang terbaik yang harus jadi tuntunan dalam berbuat berkata dan bertingkah.

 KLIK DI SINI

Kamis, 15 Agustus 2024

NYUNGSI PEUTING DI LAUT PANGANDARAN

 

NYUNGSI PEUTING DI BASISIR PANGANDARAN

( Undang Sumarana)

 

NYUNGSI PEUTING DI LAUT PANGANDARAN

rajasastra-us.blogspot.com

Laut Pangandaran ngagulidag ombakna gumuruh, marengan sagara di luhur wangwangan nu ngoyagkeun palataran hate sugan sirna ti kasimpe. Di langit sagara diri, di handap sagara ati.

Mapay-mapay peuting nyungsi basisir, niat nyirnakeun rasa nyungsi diri naratas lampah milari  bagja nu kasorang. Kapikir na galeuh ati, hirup kudu nangtukeun hiji plihan , naha kudu nangtung na tincakeun realita? Atawa dina titincakan pangimpenan?

Cinta?

Tah sanes kedah diobral na lambey, sarerea pada surti yen hirup teu hade kapahung na jaladri kasedih. Harepan kedah disungsi, sanajan kandeg na gurat balebat, kecap sabar memang kedah dilakonan dina lalampahan, ulah nepi ka ngamgkleung na sagara nu tanpa wates.

Manusa memang lain malaikat moal bisa mindingan rasa nu suda tina nafsu, lamun ngandegkeun nafsu cinta ngan ukur datang sajorelat. Sanajan raga tumuwuh di barengan nafsu, mung kudu dibarengan ku pangenyed iman , sangkan hirup teu kaduhung.

Bacaan lainnya:

Diri nu geus ngarasa lungse nyungsi jemplingna peuting di basisir, rumasa sarta tumarima kadang teu karasa lampah salah matak ngajaheutkeun manah nulian, lamun temah aya lampah salah kalakonan, boh di haja atanapi henteu, poma urang sili lubarkeun sili elingan sangkan bisa diomean. Hirup runtut sauyunan, eta jalan anu merenah, sanajan na seuhseuhanana kapaksa tarung  cekel sabuk bilang tatu, keur diri taya kagimir sanajan ngemasing pati, mung eta sanes pilihan, sabab hirup urang maot urang mung Alloh anu kagungan.

Basisir Kasimpe, malem sabtu, 8 juli 2016

                                                        klik di Sini

Selasa, 09 Juli 2024

SENYUMAN SANG REMBULAN CURAHAN HATI ANGIN MALAM

SENYUMAN SANG REMBULAN CURAHAN HATI ANGIN MALAM

(Undang Sumargana)
Ini hanya Cerpen fiktif percakapan Rembulan dan Angin yang peduli paduli pada kehidupan dunya yang berada dalam keserakahan para penghuninya, bila ada yang tersinggung dari cerita ini, ini hanyalah gambaran yang patut kita rtenungkan
SENYUMAN SANG REMBULAN CURAHAN HATI ANGIN MALAM 

Pengantar CERPEN

Ini hanya Cerpen fiktif percakapan Rembulan dan Angin yang peduli paduli pada kehidupan dunia yang berada dalam keserakahan para penghuninya, bila ada yang tersinggung dari cerita ini, ini hanyalah gambaran yang patut kita rtenungkan

Selamat Membaca karya dangkal dari cerpen ini !

Jalan Cerita 

rajasastra-us.blogspot.com - Angin malam begitu lesu, ia hanya meniupkan nafasnya perlahan-lahan. Begitu rindunya ia bercengkrama dengan sahabat mesranya putri rembulan, karena ia hanya bisa bersua bercengkrama satu bulan sekali di malam bulan purnama, itupun kalau tak terhalang oleh awan hitam dan hujan. Ia hanya mampu berputar putar kecil menanti waktunya tiba.

“Haruskah aku menjumpainya?, tidak bakal sampai sebab disana kedap udara tak bakal kuat, biarlah aku menanti mala ini malam purnama yang ditunggu-tunggu”.

Ia ingin bercerita banyak hal di belahan dunia, maka setia menanti sahabat mesranya rindunya  sulit untuk di bendung.

Akhirnya tiba juga waktu yang dinantikan, dari habis magrib sang angin malam telah menanti di lapangan luas, agar tak terganggu oleh riuhnya pohon, lalu Lalangnya kendaraan dan hilir mudiknya mahluk yang Namanya manusia.

“Wow ia sudah mulai datang menampakan kecantikan parasnya”, Kata angin jantan dengan penuh keceriaan.

“Selamat datang Putri Rembulan sahabat mesraku”

“Selamat bertemu Angin Jantan Tampan sahabat tersayangku”.

Keduanya berbaur berpelukan, dengan penuh kerinduan.

“Kabar apa yang kau bawa dari penghuni bumi sahabat tampanku?”

“Yah tentang kehidupan manusia yang telah banyak ingkar, Bumi menangis porak poranda karena keserakahan manusia-manusia jahanam itu. Sungai-sungai banyak yang sudah tercemar, bahkan air lautpun mulai menebarkan bau tak sedap karena perbuatannya. Para pemimpin dan pejabat di beberapa negeri sudah banyak yang tidak lagi dicintai rakyatnya, karena sering berbohong dengan mengumbar janji-janji palsu. Bahkan rakyat tak bersalah mengeritik sedikit banyak yang dipenjarakan dianggap membahayakan negara. Rakyat  dianggap penjahat. Padahal bukankah mereka yang jahat, petani sulit hidup karena harga pupuk yang melambung karena subsidinya dicabut. 

“Sudahlah Angin malam yang tampan, nanti diteruskan.  Ditempatku begitu sunyi, sulit untuk hidup, bahkan dengar manusia di negeri tertentu akan pindah kebulan, Putri sih gembira saja jadi bakal ramai”.

“Jangan terima kau manisku Putri Rembulan, apa lagi mahluk yang Namanya Manusia”.

“Memang kenapa dengan manusia?”

“Sudah ku katakana mereka banyak yang jahat, serakah, nanti tempatmu dan kecantikanmu dirusak, banyak dari mereka yang jahatnya lebih dari Iblis, yang di usir  Allah dari Sorga”.

“Ia tapi di langitku malaikat selalu hadir sebagai penjaga yang hebat”.

“Ia tapi Allah selalu memberi kesempatan kepada manusia-manusia serakah untuk bertobat terlebih dulu”.

Angin dan Rembulan semakin larut Dalam percakapan. Bahkan angin jantan yang tampan itu sewaktu-waktu nakal mengelus -ngelus putri rembulan, bahkan dengan lembutnya menyingkap rok yang menutupi paha halusnya.

“Rembulanku sayang, aku merasa heran penduduk belahan bumi yang Namanya Indonesia, dulu terkenal penghuni yang ramah,saling membantu bergotong royong, hidup penuh ketentraman, tapi sekarang rakyatnya sedang terbelah  tidak baik-baik saja. Akibat rasa iri bantuan Pemerintah yang kurang tepat sasaran, yang seharusnya tidak layak,  jadi mendapat bantuan, padahal banyak rakyat miskin yang layak mendapat bantuan tidak mendapat jatah, Mungkin itu dengan alasan pendataan yang salah, atau sengaja disalurkan kepada kerabat dan orang-orang dekatnya. Akhirnya mereka terus mengharap dan mengharap, sehingga mengganggu aktivitas yang seharusnya mereka kerjakan, akibat dari itu pula sikap kegotong royongan hampir hilang, Kalau petugas RT suruh gotong Royong, mereka bilang tuh yang mendapat bantuan. Koruptor makin meraja lela, bantuan untuk Rakyat dikorupsi, bantuan inpra struktur banyak dimakan itulah yang menjadikan rakyat dalam kesengsaraan dan menanamkan rasa ketidak percayaan.

“Sudahlah Angin Tampan jangan terlalu keras nanti didengar manusia  kau dilaporkan dan dipenjarakan. Aku nanti tak dapat lagi berjumpa denganmu, laksanakan saja tugasmu, pindahkan saja putik-putik bunga agar petani sejahtra menikmati jerih payahnya”.

“Ia lah aku terlalu ikut campur urusan manusia, padahal hanya mahluk yang Namanya angin yang bekerja sesuai dengan kehendak dan petunjuk Allah”.

Mereka keduanya mengumbar senyum membuat cahya Putri Rembulan semankin bercahaya dan Nampak lebih cantik dalam penglihatan sang angin jantan.

“Putri Rembulanku yang cantik jelita, Yu kita pergi ke pantai, disaat sudah pukul 23.00  malam ini sudah sepi, kita bisa bencengkrama sepuas mungkin”. Kedua mahluk itu dengan cepat telah ada di pantai yang ombaknya Besar berada di puncak bukit untuk luas memandang ke seluruh pantai.

“Lihatlah hampir seluruh pantai banyak berlubang, parit-parit yang tidak tertutup bekas galian pasir. Mereka seperti membuat perangkap Tsunami, mungkin mereka belum merasakan bagaimana marahnya gelombang laut menyapu penduduk dengan gelombang tsunami. Tuh air laut sudah tak biru lagi tercemar oleh para penghuni jahat. Beberapa waktu yang lalu hampir saja terjadi bentrokan antara masyarakat yang peduli dengan kroni pengusaha yang hanya mencari keuntungan. Bahkan kabarnya beking mereka para pereman yang dibelakangnya oknum aparat. Jahat bener mereka”

“Hess jangan terlalu keras tuh lihat orang pacaran di bawah rungkun pohon”. Nanti kau dilaporkan dan ditangkap”

BACAAN LAINNYA:

“Biarlah aku ditangkap nanti mereka kepanasan tanpa kehadiranku”.

Kedua mahlukitu terusbercengrama sampai hari menjelang subuh, putri rembulan mulai mengantuk, cahayanya mulai redup, sedangkan di masjid mulai terdengar yang melantunkan ayat-ayat Allah, dengan suara yang mendayu merdu memujikebesaran Illahi. Dirungkun pohon sana entah apa yang dilakukan dua insan Laki-laki dan perempuan, mungkin berpacaran cari kesenangan melampoi batas.

Putri rembulan mulai pamit, tak laupa merangkulkan tubuhnya dalam dada Angin Jantan malam yang Bidang. 

“Selamat pisah sahabatku Angin Jantan Malam yang tampan, kita jumpa satu bulan lagi, saatnya aku istirahat digantikan nanti sumirat cahya Giwangkara’.

“Selamat jalan Putri Rembulat teman mesraku yang Cantik”.

Keduanya berpisah terbatas waktu, tak cukup mereka membicarakan keadaan dunia yang sedang tak baik-baik saja.

Bantarkalong, Kec. Cipatujah 22 - 11 -  2023

KLIK DI SINI

Minggu, 07 Juli 2024

CINTA BERSEMI KEMBALI DI LAUT PANGANDARAN

 CINTA BERSEMI KEMBALI  DI LAUT PANGANDARAN

Lembayung langit mulai memancarkan cahaya, suasana alam kini mulai merangkak senja dalam binaran cahya yang menguning. Usia yang merayap solah memicu waktu dan kenangan yang melajur dalam jalur usia seperti menorehkan peristiwa masa silam.
CINTA BERSEMI KEMBALI  DI LAUT PANGANDARAN

rajasastra-us.blogspot.com/Bagi yang belum baca sebelumnya ini melanjutkan cerita yang lalu klik  judul cerita sebelumnya  “KEMELUT CINTA SANG DIREKTRIS PT BAHARI LESTARI” walaupun cerita dibuat dengan judul yang terpisah, tapi bagi yang penasaran cerita awalnya klik judul cerita di tersebut. Dalam cerita yang lalu dikisahkan Aruni telah berhasil menata Kembali PT Bahari Lestari dan telah terjadi pemecatan Direktur PT Bahari Lestari yang semula dipegang Pak Handoko.

Baik kita lanjutkan saja ceritanya:

Lembayung langit mulai memancarkan cahaya, suasana alam kini mulai merangkak senja dalam binaran cahya yang menguning. Usia yang merayap solah memicu waktu dan kenangan yang melajur dalam jalur usia seperti menorehkan peristiwa masa silam.

“Jangan banyak melamun Aruni”. Suara Wisnu mengagetkan Aruni

“Aku memikirkan kehidupan ke depan”. Aruni menjawab gugup.

“Aku lagi memikirkan Omongan orang tuaku, Dia mengharapkanku aku cepat punya suami lagi”. 

“Memangnya apa susahnya Aruni, kau cantik, kau mapan”

“Justru kedudukanku yang menjadi penghalang orang untuk mendekatiku,malah kau sebagai sahabat lamaku seolah-olah membuat jarak”.

“Terus terang saja Aruni, aku tak berani berbicara lugas seperti dulu, aku bisa kerja Kembali juga karena kebaikan kamu”.

“jadi itu yang menjadikan kamu selalu kaku jika bersamaku? 

“Apa kau masih dendan karena perlakuanku dulu?”

“Sudahlah Wisnu di daerah ini hanya kau yang akrab denganku” Aruni memandang Wisnu sambil tersenyum kecil menyunggingkan bibir indahnya, Wisnu gemetar, dia betul-betul melihatnya senyuman Aruni waktu dulu masih kuliah. 

“Hemmh ia tetap cantik dan baik seperti dulu, tapi pantaskah jika aku Kembali mencintainya, Ia seorang Direktur utama PT Bahari Lestari yang cabangnya terdapat dimana-mana, lagi pula dia Ahli waris satu satunya dari pemilik PT Bahari Lestari dan beberapa PT Lainnya yang tersebar dimana-mana, hemmh aku tak seharusnya bermimpi mengharapkan dia lagi”.

“Wisnu kau malah melamun, ada apa?”

“Tidak apa-apa Aruni”.

“Sudah berapa tahun y akita meninggalkan kuliah?”

“Ya kurang lebih 8 tahun lah dan hampir selama itu kita tak bertemu”

“Aruni rasanya Aku  ingin Kembali ke masa kita kuliah, tanpa beban, tanpa banyak pikiran, tanpa banyak keruwetan”.

Bacaan lainnya:

“Anggp saja kita masih kuliah, apa salahnya?”

Ketuanya tertawa kecil sambil pikirannya mengingat-ngingat masa lalu. 

“Minggu depan aku pulang dulu ke Jakarta, kau mau ikut enggak”

“tidaklah, nanti aku dimarahi ayahmu”

“tidaklah kan kita bukan anak kecil lagi?”

“Kalau aku disangka calon suamimu?”

“Justru itu yang kuharapkan, Kau mau enggak pura-pura jadi calon suamiku?”

“Kalau Cuma pura-pura tidaklah?”

“Kalau beneran ?”

“Memangnya kau tak keberatan?”

Keduanya pada tertawa, memang begitulah orang dewasa pengungkapkan perasaannya, akhirnya mereka sepakat untuk menjadi pacar dan akan sepcepatnya dibicarakan secara seurieus.

Angin mulai perlahan tidak sekencang tadi, langit semakinindah ditaburi rona warna yang beraneka. Udara mulai segar mengelus-ngelus daun-daun pepohonan di pinggir pantai, dan jauh di lubuk hati kedua insan ada nyanyi cinta yang begitu merdu, seolah oleh gamelan surgawi yang mulai Kembali menata hati dri puing-puing keterpurukan cerita lama. Waktu yang lalu bermain dengan angin dari lembah ke bukit dari satu luasan ke luasan lain. Lalu mengelus-ngelus pantai dana kebiruan laut. Angin itu pula yang mengelus Pandu dan Aruni saat mereka Kembali berbicara menata hati masing-masing dalam pembicaraan santai menata masa depan. 

“Aruni sudahkah kau pertimbangkan matang-matang kau memilih aku menjadi calon suamimu”.

“Kalau kamu sendiri?”.

“Aku sih tidak..”

“Jadi maksudnya kau tidak Manu?”

“Bukan maksudnya tidak berkeberatan, aku sih beruntung banget, dapat wanita cantik, pintar, mapan lagi, kau sendiri yang rugi aku kerja diperusahanmu sudah beruntung”.

“Sudahlah kita kan bukan lagi jual beli jika kau jadi suamiku kau adalah Imamku, dan perusahaan itu bakal jadi milik kita bukan hanya milik aku”.

“Aruni kita sudah pada memahami, aku ditinggal istri dan kau gagal berumah tangga karena penghianatan suamimu. Tapi bisakah aku meyakinkan ayahmu?”

“Kau laki-laki Wisnu, ayahku tak berpandangan picik, masalah dulu ayahku menjodohkan aku dengan mantan  suamiku, itupun salah aku tak mau memperkenalkan aku pada ayahku dan karena aku pula terlalu menghargai perasaan ayah dan ibuku. Lagi pula aku akan meyakinkan ayah dan ibuku berbicaralah apa adanya tak perlu ada yang ditutupi”.

Keduanya berpedangan tangan seolah olah saling menguatkan, Bayupun terasa bangkit kakuatannya seolah-olah bangkit dari lembah keterpurukan yang begitu dalam. Arunipun terasa begitu lega, ia yakin kebahagiaan masa datang yang akan dibenahi Bersama Bayu, kedepan tidak perlu berjalan sendiri, tapi bisa melangkah kaki Bersama sama menata kehidupan.

Pertemuan secara pribadi hari itu tidak sampai magrib, mereka pulang ke tempat masing-masing, dan mereka bertemu Kembali besok di dalam kantor perusahaan.

Besoknya di PT Bahari Lestari semua karyawan dikumpulkan dan di beri arahan, serta gajian pada bulan itu dijanjikan semua karyawan gajinya dinaikan, hal itu disambut dengan keriuhan dan kegembiraan para karyawan. Lagi pula hari itu pekerjaan diliburkan dan hari itu pula bertepatan dengan hari Ulang Tahun Aruni serta mengadakan pesta kecil-kecilan. Waktu terjadi pemotongan kue aruni minta ijin dulu untuk berbicara di depan karyawannya.

“Saudara-saudara semua karyawan dan petinggi PT bahari Lestari, Hari ini aku akan berbicara tentang perjalanan hidupku dan keadaanku yang sebetulnya, di daerah ini aku bertemu dengan teman lama bahkan dapat dikatakan kekasih lamaku, dan teman lamaku Pak Bayu silahkan maju ke depan, semuanya menyambut  dengan tepuk tangan yang meriah. Dan perlu diketahui bahwa Pak Bayu pada hari kemarin telah resmi menjadi pacar dan calon suamiku. Semua yang hadir menyambutnya dengan gemuruh dan penuh kebahagiaan. Disntara gemuruh kemeriahan tersebut ada seorang pasangan yang maju ke depan seorang Ibu cantik dan seseorang lelaki yang keren. Keduanya maju ke depan mendekati Bayu dan Aruni. Tiba tiba ia sudah berada didepan Aruni. Aruni begitu terkejut karena Ayah dan Ibunya sudah berada di depannya. 

“Selamat Nak- selamat, Ayah dan Ibu Aruni bersalaman dan merangkulnya”.

Semua pada bengong dan Bayu pun terdiam seperti patung membisu tak kuasa berbicara apa-apa.

“Aruni ini calon mantu Papah”. Pantas kau terburu-buru dia begitu gagah dan tampan”. Akhirnya pembicaraan diambil alih oleh Pak Gunawan Ayahnya Aruni, 

“Saudara-saudara yang hadir dan Aruni puriku serta nak Bayu calon mantuku, jangan heran sesungguhnya aku sudah 3 hari hadir di daerah ini, untuk memantau apa yang Anaku kerjakan, sengaja kehadiranku dirahasiahkan, supaya Aruni putriku leluasa mengambil tindakkan, Eh malah tak disangka melakukan keputusan diluar kepentingan perusahaan dan aku sengaja datang hari ini karena tau hari ini Ulang Tahun putriku, Selamat Ulang Tahun Putriku dan kegembiraanku tak disangka bahwa putriku sudah punya calon suami Nak Bayu aku sangat setuju, lagi pula Ibunya Nak Bayu masih Saudaraku dia putra dari Uaku  Almarhum, dan Ibunya beberapa saat lagi akan masuk ke sini karena telah dijemput oleh pegawaiku. Tak lama kemudian masuk seorang Wanita Bersama anak kecil dan pengasuhnya. Begitu Dia masuk pak gunawan menyambutnya,

“Bibi…”

“Gunawan”

Keduanya bersalaman dan memeluknya karena memang mereka tak bertemu dan istri Gunawanpun bersalaman sambil berpelukan melepaskan kerinduan.

“Lhatlah teh Lastri itu putramu menjadi calon mantuku”

“Hah kenapa kau baru beri tau aku sekarang”

“Tak taulah aku juga baru tau”

“Lalu Lastripun berpelukan dengan putranya serta Aruni” Semua yang hadir pada heran tapi semuanya menyambutnya dengan kegembiraan’ Dan hari itu pula diumunmkan bahwa 2 hari lagi pertundangan secara resmi antara Wisnu dan Aruni. Perusahaan antara besok dan lusa diliburkan dan semuanya dihari pertuntangan wajib datang di satu aula hotel yang telah ditentukan. KLIK DI SINI

Featured Post

HABIB ALI ALHABSYI DENGAN KAROMAHNYA

KHARAMAH HABIB ALHABSYI:  BISA DENGAR SUARA TASBIH DAN BENDA MATI HABIB ALI ALHABSYI DENGAN KAROMAHNYA Habib Ali Alhabsyi nama lengkapnya H...