BERANDA

Sabtu, 31 Agustus 2024

SEJARAH DAN WUJUD BUDAYA SUNDA YANG SANGAT PENTING DIKETAHUI

 SEJARAH DAN WUJUD BUDAYA SUNDA 
YANG SANGAT PENTING DIKETAHUI

SEJARAH DAN WUJUD BUDAYA SUNDA  YANG SANGAT PENTING DIKETAHUI
SEJARAH DAN WUJUD BUDAYA SUNDA  YANG SANGAT PENTING DIKETAHUI

rajasastra-us.blogspot.com Sejarah dan wujud Budaya Sunda perlu kita ketahui, hal ini berkaitan pentingnya wawasan kita tentang kehidupan Suku  dan budaya yang dimiliki Bangsa di Indonesi yang tersebar di seluruh wilayah dari Sabang hingga Merauke. Suku-suku tersebut sudah ada sejak dahulu kala, bahkan sebelum masehi dan berkembang hingga detik ini. Salah satu suku besar yang ada di negara kita adalah Suku Sunda yang mayoritas mendiami daerah Jawa Barat dan Banten. Bahkan saking besarnya, menurut sensus penduduk yang dilakukan  menyatakan bahwa populasi suku Sunda di Indonesia mencapai juml terbesar kedua setelah suku Jawa Meskipun mayoritas suku ini ada di sebelah barat Pulau Jawa, tetapi persebarannya mencapai wilayah Lampung hingga Jakarta juga. 

Sejarah dan wujud Budaya Sunda perlu kita ketahui Bagaimana sih asal-usul dari suku Sunda itu? Bagaimana pula wujud kebudayaan dan kesenian dari suku yang kerap disebut sebagai Tatar Pasundan ini? Supaya  tidak penasaran akan hal-hal tersebut, mari kita  simak ulasannya berikut ini!


Materi Pembahasan:

A. Mengenal Suku Sunda Lebih Dekat

        1. Mata Pencaharian

         2. Sistem Kekerabatan

B. Sejarah Singkat Suku Sunda

C. Wujud Kebudayaan Suku Sunda

        1. Berwujud ide atau Konsep

            a. Sunda Wiwitan

             b. Latrangan-larangan

             c. Indung Beurang

         2. Berwujud Tindakan Atau Aktivitas

             a. Bahasa Sunda

             b.Upacara Pernikahan

                1). Sebelum Pernikahan

                2). Pernikahan

                3). Setelah Pernikahan

                 4). Tradisi Ruwatan

             3. Berwujud hasil Karya Manusia

                  a. Karya Sastra

                  b.Kesenian

                  c.Kategori Sosiologi

                  d. Materi Sosiologi


A. Mengenal Suku Sunda Lebih Dekat

Populasi suku Sunda alias Tatar Pasundan ini paling banyak ada di Jawa Barat. Yap, wilayah yang memiliki luas mencapai 4.417.000 ha atau sekitar 35% dari luas Pulau Jawa dan Madura ini memang telah lama menjadi kampung halaman para masyarakat suku Sunda. Jika masyarakat pada umumnya menyebut suku ini dari Jawa Barat, maka masyarakat suku Sunda sendiri justru menyebut wilayahnya dengan istilah Tatar Sunda alias Dataran Sunda. Tatar Sunda maksudnya adalah wilayah (tanah; tatar) yang meliputi bagian barat dari Pulau Jawa, dengan batas sebelah Timur adalah Sungai Cimapali (sampai akhir abad ke-16 saja). Sementara itu, batas sebelah Tatar Sunda adalah laut yang memisahkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera, yakni Selat Sunda.

Sementara itu, masyarakat Sunda lebih menyebut dirinya sendiri sebagai urang Sunda. Dalam bahasa Sunda, kata “urang” berarti ‘orang’. Yap, secara etimologis, kata “Sunda” yang berasal dari kata ‘su’ berarti segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan. Sedangkan menurut bahasa Sansekerta, kata “Sunda” terbentuk dari kata ‘Sund’ yang berarti bercahaya dan terang benderang. Ada juga dari bahasa Kawi yang menyebutkan bahwa kata “Sunda” ini bermakna ‘air, daerah yang banyak air atau subur, waspada’.

Istilah “Sunda” pun juga ditemukan dalam buku berjudul The Hammond World Atlas yang diterbitkan oleh majalah Time pada tahun 1980. Kala itu, Sunda Islands (Kepulauan Sunda) digunakan untuk menyebut seluruh kepulauan yang ada di Nusantara ini. Bahkan ketika zaman penjajahan lalu, pihak Portugis dan Belanda pun membagi wilayah Nusantara ini menjadi 2 gugusan kepulauan, yakni Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil.

1. Mata Pencaharian

Grameds pasti sudah tahu bahwa sebagian besar wilayah Jawa Barat ini penuh dengan area perkebunan, terutama kebun teh. Itulah mengapa, masyarakat suku Sunda umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani alias bercocok tanam, karena kebanyakan masyarakatnya memang enggan merantau atau hidup terpisah dengan kerabatnya.

Kian hari, masyarakat suku Sunda pun beradaptasi dengan kecanggihan zaman dengan beralih profesi yakni mendirikan usaha percetakan, cafe, hingga warung mie instan (Warmindo) dan bubur kacang ijo (Burjo). Nyatanya, keberadaan Warmindo dan Burjo ini justru laris diminati oleh masyarakat dan bahkan telah menyebar di seluruh wilayah Pulau Jawa, terutama di sekitar daerah kampus.

2. . Sistem Kekerabatan

Pada dasarnya, setiap suku di Indonesia ini memiliki sistem kekerabatan yang berbeda-beda. Nah, pada suku Sunda ini sistem kekerabatan lebih bersifat bilateral alias garis keturunan dapat ditarik dari pihak Ayah maupun Ibu. Hampir sama dengan sistem keluarga lainnya, Ayah akan bertindak sebagai kepala sekaligus pemimpin keluarga. Untuk menyebut hubungan kekerabatan, baik secara vertikal maupun horizontal, suku ini menggunakan sistem Pancakaki.

B. Sejarah Singkat Suku Sunda

Dilansir dari Sejarah Suku Sunda yang ditulis oleh Roger L. Dixon pada tahun 2000, menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang tahu pasti kapan, darimana, dan bagaimana masyarakat suku Sunda awal menetap di wilayah Jawa Barat. Kemungkinan terjadi pada abad pertama masehi, yang mana terdapat sekelompok kecil suku Sunda tengah menjelajahi hutan-hutan pegunungan dan melakukan tradisi tebas bakar untuk membuka hutan.

Bahkan menurut sejarawan Bernard Vlekke, menyebutkan bahwa pada abad ke-11, wilayah Jawa Barat justru menjadi daerah yang paling terbelakang di Pulau Jawa. Sementara kerajaan-kerajaan besar bangkit di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi di Jawa Barat hanya sedikit yang berlaku demikian. Jika membahas tentang pengaruh Hinduisme bagi masyarakat Sunda, maka jawabannya adalah adanya pengaruh dari Jawa. Meskipun sejarah besar yang masih diingat oleh masyarakat Sunda dan Jawa adalah Perang Bubat, yang terjadi antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda, tetapi tetap saja tidak menutup kemungkinan bahwa Jawa banyak berpengaruh pada kehidupan suku Sunda.

Sebelum Belanda datang ke Indonesia pada 1596, agama Islam telah berpengaruh secara dominan di masyarakat Sunda, bahkan di antara kaum ningrat dan pemimpin masyarakat. Hal yang menonjol dari sejarah suku Sunda adalah hubungan mereka dengan kelompok-kelompok lain. Secara historis, suku Sunda tidak memainkan suatu peranan penting dalam urusan-urusan nasional. Beberapa peristiwa yang sangat penting telah terjadi di Jawa Barat tetapi biasanya peristiwa-peristiwa tersebut bukanlah kejadian yang memiliki karakteristik Sunda.

BACAAN LAINNYA:

C. Wujud Kebudayaan Suku Sunda

Menurut Koentjaraningrat (1990), definisi dari kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang dilakukan dalam rangka kehidupan bermasyarakat untuk dijadikan sebagai milik sendiri dengan cara belajar. Singkatnya, kebudayaan itu pastilah memiliki 3 perwujudan yakni gagasan atau ide, tindakan atau aktivitas manusia, dan hasil karya manusia yang dapat dilihat secara kasat mata. Masyarakat suku Sunda tentu saja memiliki 3 perwujudan kebudayaan tersebut dan masih eksis hingga sekarang ini. Nah, berikut uraiannya!

1. Berwujud Ide Atau Konsep

     a. Sunda Wiwitan

Pada dasarnya, Sunda Wiwitan ini adalah bentuk kepercayaan atau agama lokal yang berkembang di Tanah Pasundan. Sama halnya dengan agama lokal lainnya yang begitu melekat pada sistem kepercayaan berdasarkan tradisi leluhur, pandangan hidup, dan praktik persembahan yang dilakukan oleh masyarakat tertentu. Nah, dalam kepercayaan Sunda Wiwitan ini, masyarakat mempercayai adanya kehadiran kekuasaan tertinggi yang disebut sebagai Sang Hyang Kersa atau Gusti Sikang Sawiji-Wiji (Tuhan yang Satu atau Tunggal).

Menurut kepercayaan suku Sunda, Sang Hyang Kersa hidup di tempat yang tinggi dan agung yakni Bhuana Agung atau Buana Nyungcung. Kepercayaan ini juga setidaknya memiliki 3 lapisan kosmologis dunia yaitu Buana Agung yang merupakan tempat Gusti Sikang Sawiji-Wiji berada; Panca Tengah sebagai tempat manusia dan binatang hidup; Buana Larang sebagai tempat roh-roh jahat bersemayam.

Selain itu, Sunda Wiwitan juga memiliki konsep peranan hidup manusia yang dianut oleh suku Sunda, yaitu Tri Tangtu. Pada konsep Tri Tangtu ini mengacu pada pandangan akan konsepsi keseimbangan peneguh dunia dan dilambangkan dengan Raja sebagai sumber wibawa. Rama sebagai sumber ucap (yang benar), dan Resi sebagai sumber tekad (yang baik).

Pusat dari kepercayaan Sunda Wiwitan ini adalah Kerajaan Padjajaran yang dalam perkembangan zaman ini justru semakin menghilang. Namun, kemudian terbagi menjadi beberapa jenis dengan ciri khas sejarah masing-masing, salah satunya adalah komunitas Agama Djawa Sunda (ADS) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.

b. Larangan-Larangan

Sama halnya dengan masyarakat suku lain, pada suku Sunda ini juga memiliki nasihat yang berupa larangan-larangan secara turun-temurun dari nenek moyang. Tujuan dari larangan-larangan ini adalah keturunan mereka tidak sembarangan melakukan kesalahan atau bahkan melanggar sesuatu yang memang telah dilarang. Contoh larangan-larangan yang hingga saat ini masih melekat pada masyarakat suku Sunda adalah perkataan “Tidak boleh bermain di saat matahari tenggelam, nanti diganggu setan”, “Jangan makan makanan masam ketika matahari terbenam, nanti ibunya meninggal”, “Tidak boleh melangkahi padi, nanti akan mendapatkan penyakit yang disebabkan oleh setan”, dan masih banyak lainnya.

c. Indung Beurang

Di kehidupan sehari-hari, masyarakat suku Sunda begitu menghormati dan menjunjung tinggi kaum perempuan. Salah satunya dengan menjadikan sosok Ibu sebagai panutan dengan menyebutnya sebagai Indung. Sementara Ayah tidak memiliki sebutan yang lebih tinggi. Menurut Hasan Mustapa, “Siapa yang mendidik anak dari kecil, sekalipun bukan manusia, harus disebut indung (ibu)”. Hal ini juga hampir sama dengan ajaran Islam yang meminta kita menyebut Ibu terlebih dahulu, kemudian baru Ayah.

2.Berwujud Tindakan atau Aktivitas

     a. Bahasa Sunda

Grameds pasti tahu dong jika setiap daerah itu memiliki bahasa tersendiri sebagai identitas atau jati diri dari suku tersebut berasal. Nah, dalam suku Sunda pun memiliki bahasa khas yang termasuk dalam wujud kebudayaan aktivitas, yakni Bahasa Sunda. Pembelajaran Bahasa Sunda, baik secara lisan maupun tulisan telah diajarkan di lembaga pendidikan formal mulai dari jenjang Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.

Ditinjau dari buku-buku terbitan Balai Pustaka tentang Bahasa Sunda, bahasa ini terbagi menjadi beberapa tingkatan yakni kasar pisan (sangat kasar), kasar (kasar), sedeng (sedang), lemes (halus), dan lemes pisan (sangat halus). Tingkatan-tingkatan tersebut ternyata merupakan usaha feodalisme masyarakat Sunda setelah Tanah Pasundan di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Perkembangan bahasa Sunda ternyata sudah ada sejak abad Masehi, tepatnya sebelum tahun 1600 M. Secara garis besar, bahasa Sunda terbagi menjadi beberapa sejarah.

  • Sejarah bahasa Sunda masa I (sebelum tahun 1600 M)
  • Sejarah bahasa Sunda masa II (1600-1800 M)
  • Sejarah bahasa Sunda masa III (1800-1900 M)
  • Sejarah bahasa Sunda masa IV (1900-1945 M)
  • Sejarah bahasa Sunda masa V (1945-sekarang)

b. Upacara Pernikahan

Wujud kebudayaan yang berupa aktivitas dan tindakan manusia selanjutnya adalah Upacara Pernikahan yang lebih cenderung ke tradisi. Yap, masyarakat suku Sunda ketika hendak melangsungkan pernikahan, pasti harus melalui beberapa tahapan yang cukup panjang terlebih dahulu karena memang sudah menjadi tradisi warisan nenek moyang. Bahkan setiap tahapan-tahapan upacara pernikahan Sunda ini harus dipersiapkan secara matang dari jauh-jauh hari. Tahapan-tahapan upacara pernikahan suku Sunda ini terbagi menjadi 3 tahap yakni sebelum, saat, dan sesudah upacara pernikahan.

Bacaan lainnya:

1). Sebelum Pernikahan

  • Neundeun Omong, yakni perjanjian antara orang tua pihak laki-laki kepada orang tua pihak perempuan untuk melaksanakan pernikahan.
  • Ngalamar/Nyeureuhan/Nanyaan (Meminang), yakni orang tua pihak laki-laki akan meminta pihak (calon) pengantin perempuan. Caranya adalah dengan bertanya apakah si gadis masih dalam status bebas atau sudah bertunangan dengan orang lain.
  • Papacangan (Tunangan), yakni pihak perempuan dan laki-laki akan berdekatan secara sewajarnya untuk lebih mengenal satu sama lain, dengan tetap dalam pengawasan orang tua kedua belah pihak.
  • Seserahan, yakni menyerahkan pengantin laki-laki kepada calon mertuanya untuk dinikahkan kepada si perempuan. Upacara ini dilaksanakan 1-2 hari sebelum hari perkawinan dengan membawa barang bawaan berupa uang, pakaian perempuan, perhiasan, ditambah pula sirih, pinang, kue, beras, ternak, buah-buahan, kayu bakar, juga peralatan dapur dan rumah tangga.
  • Helaran (Iring-Iringan), yakni calon pengantin laki-laki beserta keluarga akan iring-iringan menuju ke rumah calon pengantin perempuan. Seolah akan menjemput calon pengantin perempuan.
  • Ngeuyeuk Seureuh (Menyiapkan Sirih Pinang), dilaksanakan pada malam hari sebelum hari pernikahan.
  • Siraman, yakni dengan memandikan calon pengantin pada sehari sebelum hari pernikahan.

2). Upacara Pernikahan

  • Akad Nikah (Ijab Kabul), yakni dengan diambilnya  ijab dan kabul dari calon pengantin pria dengan wali calon pengantin wanita serta penyerahan mas kawin sebagai tanda sahnya perkawinan.
  • Munjungan (Sungkem), yakni dilakukan oleh kedua mempelai kepada orang tua dan keluarga yang lebih tua sebagai rasa terima kasih serta memohon restu untuk membangun rumah tangga.
  • Sawer, yakni dilaksanakan di luar rumah yang dipimpin oleh juru rias atau juru sawer. Bahan-bahan yang disawer adalah: beras putih lambang kehidupan bahagia, kunyit lambang kemuliaan, bunga atau rampai lambang keharuman nama baik rumah tangga, uang logam lambang kekayaan, payung lambang kewaspadaan, sirih yang digulung berbentuk cerutu berisi gambir, kapur sirih, pinang, tembakau lambang keharmonisan suami istri, serta permen lambang manis budi dan ramah tamah.
  • Nincak Endog (Injak Telur), yakni melambangkan  cara berkomunikasi atau pergaulan suami istri dalam kehidupan sehari-hari.
  • Buka Pintu, yakni melambangkan percakapan antara kedua mempelai di dalam rumah yang mengandung nasihat dengan dipimpin oleh juru sawer.
  • Huap Lingkung (Saling Menyuapi), yakni dengan kedua mempelai duduk bersanding sambil menyuapi satu sama lain, sebagai tanda saling mencintai.

2) Setelah Pernikahan

  • Numbas, yakni upacara selamatan sebagai bukti mempelai wanita masih perawan dan mempelai pria adalah pria yang sehat. KLIK DI SINI
SUMBER BACAAN;

Sari, Devita Nela dan Risti Yuliana. (2015). Kebudayaan Suku Sunda. Institut Seni Indonesia Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

HABIB ALI ALHABSYI DENGAN KAROMAHNYA

KHARAMAH HABIB ALHABSYI:  BISA DENGAR SUARA TASBIH DAN BENDA MATI HABIB ALI ALHABSYI DENGAN KAROMAHNYA Habib Ali Alhabsyi nama lengkapnya H...