ADA REPUBLIK RASA KERAJAAN
PUISI GUSMUS YANG MENYITA PERHATIAN
PUBLIK
![]() |
ADA REPUBLIK RASA KERAJAAN PUISI GUSMUS YANG MENYITA PERHATIAN PUBLIK |
rajasastra-us.blogspot.com Ada Republik Rasa Kerajaan kata itu
terlontar dari Gus Mus dalam sebuah puisi singkat yang menyita perhatian banyak
kalangan dan menimbulkan dugaan-dugaan dari banyak orang dan akhirnya
menimbulkan dugaan bahwa puisi tersebut menyindir politik Indonesia yang sedang
tidak baik-baiksaja, yang akhirnya menimbulkan tafsir dan menganggap Indonesia
sebagai negara Republik yang keadaannya
seperti dinasti kerajaan.
Ada Republik Rasa Kerajaan, puisi Gus Mus atau Mustopa Bisri ini menyita perhatian publik setelah beliau tampil di mimbar dan menyampaikan kritiknya terkait isu politik melalui syair yang tajam dan sarat makna. pada tanggal 31 oktober 2023. Pada waktu itu ia menghadiri acaradi Taman Budaya Surakarta. Sebelum penampilannya yang penuh makna Gus Mus membacakan 3 batis syairyang membuat hadirin tertawa.
Gus Mus atau Mustofa Bisri adalah
seorang tokoh yang dikenal luas di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Ia pun cukup
populer masyarakat Indonesia pada umumnya.
Video dari penampilan Gus Mus ini
menjadi viral di media sosial TikTok setelah diunggah oleh akun Sut.Budiharto,
dan telah ditonton lebih dari 13 ribu kali.
Syair Puisi Gus Mus
Dalam pidatonya,
Gus Mus dengan nada yang khas dan karismatik, dengan lembut mengatakan, “Zaman
kemajuan, inilah zaman kemajuan. Ada sirup rasa jeruk dan durian. Ada keripik
rasa keju dan ikan. Ada republik rasa kerajaan.”
Kata-katanya ini disambut dengan
tepuk tangan hangat dari para penonton yang memenuhi Taman Budaya Jawa Tengah.
Sindiran ini memicu tawa para penonton, namun pesan di balik kata-kata tersebut
sangat mendalam.
Ternyata, syair tersebut dibacakan
oleh Gus Mus dalam acara bertajuk “Silaturahmi Indonesia.” Malam itu, tidak
hanya Gus Mus yang tampil, tetapi juga sejumlah penyair lainnya seperti Timur S
Suprabana, Sosiawan Leak, Abdul Wachid BS, dan lainnya.
Ini menjadi wujud kebersamaan para
penyair dalam menyampaikan pesan-pesan kritik terhadap situasi politik yang
sedang terjadi di Indonesia.
Respons dari netizen terhadap
penampilan Gus Mus ini sangat mencolok. Banyak dari mereka merasa bahwa ketika
Gus Mus mulai membuat puisi sindiran, itu adalah pertanda bahwa situasi politik
di dalam negeri tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja.
Salah satu akun mengatakan, “Kalau
Gus Mus sudah ngendiko lewat kata-kata puitisnya yang sarat makna biasanya
keadaan memang sedang tidak baik-baik saja.”
Ini mencerminkan betapa pentingnya
peran para penyair dan seniman dalam mengungkapkan kritik dan kegelisahan
mereka terhadap situasi politik dan sosial yang berkembang.
Ada pula komentar dari akun sutarto.k
yang mengatakan, “Kalau yang ngendiko (bicara) Gus Mus berarti ini sudah 99
persen nyata ‘republik rasa kerajaan’.”
Ini menunjukkan bahwa kata-kata puisi
Gus Mus dalam syairnya memang mencerminkan situasi politik yang dianggap
semakin otoriter atau monarkis.
Gus Mus populer sebagai seorang
penyair dan budayawan yang seringkali menggunakan puisi untuk menyampaikan
kritiknya terhadap situasi politik di Indonesia.
Ia merujuk pada puisi semacam ini
sebagai “puisi balsem,” yaitu puisi yang memiliki daya penyembuhan dan
memberikan pengertian yang lebih dalam tentang berbagai isu yang sedang
terjadi.
Melalui kata-kata puitisnya, Gus Mus
mencoba membangkitkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya
memantau dan merespons isu-isu politik yang tengah berkembang.
Kritik dari puisi Gus Mus terhadap
“republik rasa kerajaan” mencerminkan perasaan ketidakpuasan terhadap
perkembangan politik di Indonesia.
Ia mungkin menganggap bahwa sistem
politik yang ada semakin mendekati struktur monarkis atau otoriter. Hal itu
yang dapat merusak prinsip demokrasi dan kemerdekaan berpendapat.
Melalui kata-kata sindiran dalam
syairnya, Gus Mus mengingatkan masyarakat untuk tetap kritis terhadap kebijakan
pemerintah dan memahami konsekuensi dari perkembangan politik tersebut.
Diduga Sindir Jokowi
Gus Mus memang tidak menjelaskan
secara eksplisit. Tetapi masyarakat di media sosial mulai berspekulasi bahwa puisi
tersebut merupakan kritik halus terhadap Presiden Joko Widodo.
Pada saat itu, Presiden Jokowi sedang
dihadapkan pada tudingan politik dinasti karena banyak anggota keluarganya yang
terlibat dalam dunia pemerintahan.
Gibran Rakabuming Raka, anak sulung
Presiden Jokowi saat itu menjabat sebagai Wali Kota Solo. Kini, Gibran telah
diusulkan sebagai calon wakil presiden (cawapres) oleh Prabowo Subianto dalam
pemilihan presiden berikutnya.
Gibran sebelumnya tidak memenuhi
syarat umur untuk menjadi cawapres, tetapi dia akhirnya lolos sebagai cawapres
setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan yang mengubah batas usia
capres-cawapres.
Hal yang menarik perhatian adalah
bahwa Ketua MK yang mengabulkan perubahan tersebut adalah kakak ipar Presiden
Jokowi. Hal ini menimbulkan kontroversi dan polemik di kalangan masyarakat.
Pertanyaan tentang politik dinasti
menjadi perbincangan hangat di seluruh negeri. Banyak yang memandang pergerakan
politik Jokowi sebagai upaya membangun dinasti politiknya sendiri.
Ini mengingatkan pada masa lalu
dimana kekuasaan seringkali diwariskan di antara keluarga dan rekan-rekan
terdekat. Sebagai seorang pemimpin yang pernah mengusung semangat perubahan dan
anti-korupsi, tudingan politik dinasti ini menimbulkan ketidakpuasan di
kalangan masyarakat yang merasa bahwa pemerintah harus lebih transparan dan
adil.
Dalam hal ini, penampilan puisi Gus Mus dan reaksi netizen menunjukkan bahwa seni dan puisi memiliki peran penting. Terutama di dalam membuka ruang diskusi dan refleksi terhadap isu-isu sosial dan politik.
Inilah Zaman kemajuan
Ada
sirup rasa jeruk dan durian.
Ada
keripik rasa keju dan ikan.
Ada republik rasa kerajaan.
Demikian
sepenggal isi puisi Zaman Kemajuan yang dibacakan Ahmad Mustofa Bisri atau Gus
Mus
BACAAN LAINNYA:
- BIARKAN HATIKU MELEBAR SAYAP
- SARUNG SANTRI CERPEN INDAH YANG MENGGUAH EMOSI
- SEPASANG RAJAWALI SAKTI DARI GUNUNG GALUNGUNG 1
Sayangnya,
puisinya itu tak dilanjutkannya karena khawatir ada yang tersinggung. Itu pula
yang membuat publik penasaran, kemajuan apa yang dimaksudnya itu? Jika berkaca
pada situasi terkini republik ini, puisi Gus Mus yang selama ini dikenal juga
sebagai budayawan dan penyair itu memang bisa menjadi sebuah sindiran.
Bagaimana tidak, tatanan bernegara saat ini sudah dirusak oleh segelintir
kelompok yang ingin membangun kerajaan politik. Ambil contoh, pelanggengan
kekuasaan lewat politik dinasti dan ancaman pidana terhadap orang yang menghina
presiden dan/atau wakil presiden. Hak istimewa yang diberikan konstitusi untuk
memimpin negara dijalankan oleh kelompok itu laiknya memimpin kerajaan.
Kelompok ini lupa, mereka lahir dan masih hidup di negara dengan sistem
pemerintahan republik. Ada benarnya nasihat orang dulu yang menyebut salah satu
godaan bagi orang yang berkuasa ialah takhta. Kehilangan takhta menjadi kiamat
besar baginya. Karena itu, selagi berkuasa, dia akan menggunakan seluruh
upayanya untuk melanggengkan takhtanya. Aturan hukum diutak-atiknya agar bisa
sesuai dengan kehendak hatinya. Begitu masa jabatan berkuasanya akan habis, ia
putar otak agar istrinya, anaknya, menantunya, bahkan besannya bisa melanjutkan
takhtanya. Anak dengan pengalaman masih mentah pun dikarbitnya supaya terlihat
matang. Politik dinasti di beberapa daerah menjadi contoh upaya pelanggengan
takhta tersebut. Bak seorang raja, sejumlah kepala daerah ingin mewariskan
jabatannya itu kepada keluarganya. Mereka tak rela kemampuan dan prestasi dalam
sistem meritokrasi menggantikan sistem dinasti. Mereka lupa, para pendiri
bangsa telah susah payah merumuskan bentuk pemerintahan negara ini, tahun 1945
silam. Para bapak bangsa sadar betul, sistem kerajaan tak dapat dipakai untuk
memimpin negara dengan beragam suku, ras, dan agama ini. Mereka menilai bentuk
negara kerajaan lekat dengan feodalisme yang dapat menyuburkan penindasan.
Sistem republik akhirnya yang disepakati Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 10 Juli 1945. Sistem itu menekankan
kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan di tangan seorang raja yang kemudian
turun-temurun diwariskan ke keluarganya. Sistem itu yang kemudian tertuang di
UUD 1945. Ditempatkan di paling atas untuk menegaskan bagaimana negara ini
dikelola. "Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk
Republik," demikian bunyi Pasal 1 ayat 1 UUD 1945. Begitu pula dengan
keberadaan ancaman pidana terhadap orang yang menghina presiden dan/atau wakil
presiden, sebagaimana tertuang di UU No 1/2023 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Pasal itu bersifat karet yang begitu lentur karena bisa
menyeret siapa saja yang dianggap menghina kepala pemerintahan. Pasal itu
dinilai publik telah menempatkan negara ini mundur jauh ke belakang, ke sistem
kerajaan. Kritik bisa dipandang sebagai hinaan jika kritik itu tak sejalan
dengan keinginan sang raja. Salah satu esensi demokrasi yang membuka keran
seluas-luasnya untuk menyampaikan pendapat bisa terberangus oleh keberadaan
aturan itu. Untuk apa tampil merakyat di depan rakyat, sembari menutup keran
suara rakyat. Republik rasa kerajaan akan merusak demokrasi. Salah satu ciri
dari pemerintahan republik ialah kedaulatan di tangan rakyat. Dalam sistem
republik, partisipasi rakyat dalam menentukan jalannya negara ialah nomor
wahid. Berbeda dengan sistem monarki, sang rajalah menentukan ‘hitam-putihnya’
sebuah negara. Jangan bermimpi untuk membawa negeri ini balik ke zaman
kerajaan, apalagi mewujudkannya. Begitu pula budaya politik kerajaan harus
dijauhkan dari negeri yang bernama Republik Indonesia. Republik ini bukan milik
sebuah keluarga, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia.
Gus Mus sebagai salah satu tokoh yang
dihormati dan mendapat perhatian luas. Ia menggunakan seninya untuk menyuarakan
kekhawatiran dan pemikiran kritisnya terhadap masa depan negara dan bangsanya.
Itu adalah pengingat bagi kita semua tentang kekuatan kata-kata dalam
menyampaikan pesan dan menginspirasi perubahan.
KLIK DI SINI
Sumber: https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/3244-republik-rasa-kerajaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar