BERANDA

Rabu, 10 Juli 2024

ADA REPUBLIK RASA KERAJAAN PUISI GUSMUS YANG MENYITA PERHATIAN PUBLIK

ADA REPUBLIK RASA  KERAJAAN
PUISI GUSMUS YANG MENYITA PERHATIAN PUBLIK

Ada Republik Rasa Kerajaan kata itu terlontar dari Gus Mus dalam sebuah puisi singkat yang menyita perhatian banyak kalangan dan menimbulkan dugaan-dugaan dari banyak orang dan akhirnya menimbulkan dugaan bahwa puisi tersebut menyindir politik Indonesia yang sedang tidak baik-baiksaja, yang akhirnya menimbulkan tafsir dan menganggap Indonesia sebagai negara Republik  yang keadaannya seperti dinasti kerajaan.
ADA REPUBLIK RASA  KERAJAAN PUISI GUSMUS YANG MENYITA PERHATIAN PUBLIK

rajasastra-us.blogspot.com Ada Republik Rasa Kerajaan kata itu terlontar dari Gus Mus dalam sebuah puisi singkat yang menyita perhatian banyak kalangan dan menimbulkan dugaan-dugaan dari banyak orang dan akhirnya menimbulkan dugaan bahwa puisi tersebut menyindir politik Indonesia yang sedang tidak baik-baiksaja, yang akhirnya menimbulkan tafsir dan menganggap Indonesia sebagai negara Republik  yang keadaannya seperti dinasti kerajaan.

Ada Republik Rasa Kerajaan, puisi  Gus Mus atau Mustopa Bisri ini menyita perhatian publik setelah beliau tampil di  mimbar dan menyampaikan kritiknya terkait isu politik melalui syair yang tajam dan sarat makna. pada tanggal 31 oktober 2023. Pada waktu itu ia menghadiri acaradi Taman  Budaya Surakarta. Sebelum penampilannya yang penuh makna Gus Mus membacakan 3 batis syairyang membuat hadirin tertawa.

Gus Mus atau Mustofa Bisri adalah seorang tokoh yang dikenal luas di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Ia pun cukup populer masyarakat Indonesia pada umumnya. 

Video dari penampilan Gus Mus ini menjadi viral di media sosial TikTok setelah diunggah oleh akun Sut.Budiharto, dan telah ditonton lebih dari 13 ribu kali. 

Syair Puisi Gus Mus

Dalam pidatonya, Gus Mus dengan nada yang khas dan karismatik, dengan lembut mengatakan, “Zaman kemajuan, inilah zaman kemajuan. Ada sirup rasa jeruk dan durian. Ada keripik rasa keju dan ikan. Ada republik rasa kerajaan.” 

Kata-katanya ini disambut dengan tepuk tangan hangat dari para penonton yang memenuhi Taman Budaya Jawa Tengah. Sindiran ini memicu tawa para penonton, namun pesan di balik kata-kata tersebut sangat mendalam.

Ternyata, syair tersebut dibacakan oleh Gus Mus dalam acara bertajuk “Silaturahmi Indonesia.” Malam itu, tidak hanya Gus Mus yang tampil, tetapi juga sejumlah penyair lainnya seperti Timur S Suprabana, Sosiawan Leak, Abdul Wachid BS, dan lainnya. 

Ini menjadi wujud kebersamaan para penyair dalam menyampaikan pesan-pesan kritik terhadap situasi politik yang sedang terjadi di Indonesia.

Respons dari netizen terhadap penampilan Gus Mus ini sangat mencolok. Banyak dari mereka merasa bahwa ketika Gus Mus mulai membuat puisi sindiran, itu adalah pertanda bahwa situasi politik di dalam negeri tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. 

Salah satu akun mengatakan, “Kalau Gus Mus sudah ngendiko lewat kata-kata puitisnya yang sarat makna biasanya keadaan memang sedang tidak baik-baik saja.” 

Ini mencerminkan betapa pentingnya peran para penyair dan seniman dalam mengungkapkan kritik dan kegelisahan mereka terhadap situasi politik dan sosial yang berkembang.

Ada pula komentar dari akun sutarto.k yang mengatakan, “Kalau yang ngendiko (bicara) Gus Mus berarti ini sudah 99 persen nyata ‘republik rasa kerajaan’.” 

Ini menunjukkan bahwa kata-kata puisi Gus Mus dalam syairnya memang mencerminkan situasi politik yang dianggap semakin otoriter atau monarkis.

Gus Mus populer sebagai seorang penyair dan budayawan yang seringkali menggunakan puisi untuk menyampaikan kritiknya terhadap situasi politik di Indonesia. 

Ia merujuk pada puisi semacam ini sebagai “puisi balsem,” yaitu puisi yang memiliki daya penyembuhan dan memberikan pengertian yang lebih dalam tentang berbagai isu yang sedang terjadi. 

Melalui kata-kata puitisnya, Gus Mus mencoba membangkitkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya memantau dan merespons isu-isu politik yang tengah berkembang.

Kritik dari puisi Gus Mus terhadap “republik rasa kerajaan” mencerminkan perasaan ketidakpuasan terhadap perkembangan politik di Indonesia. 

Ia mungkin menganggap bahwa sistem politik yang ada semakin mendekati struktur monarkis atau otoriter. Hal itu yang dapat merusak prinsip demokrasi dan kemerdekaan berpendapat. 

Melalui kata-kata sindiran dalam syairnya, Gus Mus mengingatkan masyarakat untuk tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah dan memahami konsekuensi dari perkembangan politik tersebut.

Diduga Sindir Jokowi

Gus Mus memang tidak menjelaskan secara eksplisit. Tetapi masyarakat di media sosial mulai berspekulasi bahwa puisi tersebut merupakan kritik halus terhadap Presiden Joko Widodo. 

Pada saat itu, Presiden Jokowi sedang dihadapkan pada tudingan politik dinasti karena banyak anggota keluarganya yang terlibat dalam dunia pemerintahan. 

Gibran Rakabuming Raka, anak sulung Presiden Jokowi saat itu menjabat sebagai Wali Kota Solo. Kini, Gibran telah diusulkan sebagai calon wakil presiden (cawapres) oleh Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden berikutnya.

Gibran sebelumnya tidak memenuhi syarat umur untuk menjadi cawapres, tetapi dia akhirnya lolos sebagai cawapres setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan yang mengubah batas usia capres-cawapres. 

Hal yang menarik perhatian adalah bahwa Ketua MK yang mengabulkan perubahan tersebut adalah kakak ipar Presiden Jokowi. Hal ini menimbulkan kontroversi dan polemik di kalangan masyarakat.

Pertanyaan tentang politik dinasti menjadi perbincangan hangat di seluruh negeri. Banyak yang memandang pergerakan politik Jokowi sebagai upaya membangun dinasti politiknya sendiri. 

Ini mengingatkan pada masa lalu dimana kekuasaan seringkali diwariskan di antara keluarga dan rekan-rekan terdekat. Sebagai seorang pemimpin yang pernah mengusung semangat perubahan dan anti-korupsi, tudingan politik dinasti ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat yang merasa bahwa pemerintah harus lebih transparan dan adil.

Dalam hal ini, penampilan puisi Gus Mus dan reaksi netizen menunjukkan bahwa seni dan puisi memiliki peran penting. Terutama di dalam membuka ruang diskusi dan refleksi terhadap isu-isu sosial dan politik. 

Inilah  Zaman kemajuan

Ada sirup rasa jeruk dan durian.

Ada keripik rasa keju dan ikan.

 Ada republik rasa kerajaan.

Demikian sepenggal isi puisi Zaman Kemajuan yang dibacakan Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus

BACAAN LAINNYA:

Sayangnya, puisinya itu tak dilanjutkannya karena khawatir ada yang tersinggung. Itu pula yang membuat publik penasaran, kemajuan apa yang dimaksudnya itu? Jika berkaca pada situasi terkini republik ini, puisi Gus Mus yang selama ini dikenal juga sebagai budayawan dan penyair itu memang bisa menjadi sebuah sindiran. Bagaimana tidak, tatanan bernegara saat ini sudah dirusak oleh segelintir kelompok yang ingin membangun kerajaan politik. Ambil contoh, pelanggengan kekuasaan lewat politik dinasti dan ancaman pidana terhadap orang yang menghina presiden dan/atau wakil presiden. Hak istimewa yang diberikan konstitusi untuk memimpin negara dijalankan oleh kelompok itu laiknya memimpin kerajaan. Kelompok ini lupa, mereka lahir dan masih hidup di negara dengan sistem pemerintahan republik. Ada benarnya nasihat orang dulu yang menyebut salah satu godaan bagi orang yang berkuasa ialah takhta. Kehilangan takhta menjadi kiamat besar baginya. Karena itu, selagi berkuasa, dia akan menggunakan seluruh upayanya untuk melanggengkan takhtanya. Aturan hukum diutak-atiknya agar bisa sesuai dengan kehendak hatinya. Begitu masa jabatan berkuasanya akan habis, ia putar otak agar istrinya, anaknya, menantunya, bahkan besannya bisa melanjutkan takhtanya. Anak dengan pengalaman masih mentah pun dikarbitnya supaya terlihat matang. Politik dinasti di beberapa daerah menjadi contoh upaya pelanggengan takhta tersebut. Bak seorang raja, sejumlah kepala daerah ingin mewariskan jabatannya itu kepada keluarganya. Mereka tak rela kemampuan dan prestasi dalam sistem meritokrasi menggantikan sistem dinasti. Mereka lupa, para pendiri bangsa telah susah payah merumuskan bentuk pemerintahan negara ini, tahun 1945 silam. Para bapak bangsa sadar betul, sistem kerajaan tak dapat dipakai untuk memimpin negara dengan beragam suku, ras, dan agama ini. Mereka menilai bentuk negara kerajaan lekat dengan feodalisme yang dapat menyuburkan penindasan. Sistem republik akhirnya yang disepakati Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 10 Juli 1945. Sistem itu menekankan kedaulatan ada di tangan rakyat, bukan di tangan seorang raja yang kemudian turun-temurun diwariskan ke keluarganya. Sistem itu yang kemudian tertuang di UUD 1945. Ditempatkan di paling atas untuk menegaskan bagaimana negara ini dikelola. "Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk Republik," demikian bunyi Pasal 1 ayat 1 UUD 1945. Begitu pula dengan keberadaan ancaman pidana terhadap orang yang menghina presiden dan/atau wakil presiden, sebagaimana tertuang di UU No 1/2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal itu bersifat karet yang begitu lentur karena bisa menyeret siapa saja yang dianggap menghina kepala pemerintahan. Pasal itu dinilai publik telah menempatkan negara ini mundur jauh ke belakang, ke sistem kerajaan. Kritik bisa dipandang sebagai hinaan jika kritik itu tak sejalan dengan keinginan sang raja. Salah satu esensi demokrasi yang membuka keran seluas-luasnya untuk menyampaikan pendapat bisa terberangus oleh keberadaan aturan itu. Untuk apa tampil merakyat di depan rakyat, sembari menutup keran suara rakyat. Republik rasa kerajaan akan merusak demokrasi. Salah satu ciri dari pemerintahan republik ialah kedaulatan di tangan rakyat. Dalam sistem republik, partisipasi rakyat dalam menentukan jalannya negara ialah nomor wahid. Berbeda dengan sistem monarki, sang rajalah menentukan ‘hitam-putihnya’ sebuah negara. Jangan bermimpi untuk membawa negeri ini balik ke zaman kerajaan, apalagi mewujudkannya. Begitu pula budaya politik kerajaan harus dijauhkan dari negeri yang bernama Republik Indonesia. Republik ini bukan milik sebuah keluarga, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia.
Gus Mus sebagai salah satu tokoh yang dihormati dan mendapat perhatian luas. Ia menggunakan seninya untuk menyuarakan kekhawatiran dan pemikiran kritisnya terhadap masa depan negara dan bangsanya. Itu adalah pengingat bagi kita semua tentang kekuatan kata-kata dalam menyampaikan pesan dan menginspirasi perubahan.  KLIK DI SINI

Sumber: https://mediaindonesia.com/editorials/detail_editorials/3244-republik-rasa-kerajaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

HABIB ALI ALHABSYI DENGAN KAROMAHNYA

KHARAMAH HABIB ALHABSYI:  BISA DENGAR SUARA TASBIH DAN BENDA MATI HABIB ALI ALHABSYI DENGAN KAROMAHNYA Habib Ali Alhabsyi nama lengkapnya H...