BERANDA

Senin, 29 Juli 2024

 

 IMAM SYAIFUL AZIZ (IMAMUDDIN SA) 
SASTRAWAN HEBAT KELAHIRAN LAMONGAN



rajasastra-us.blogspot.com Imamuddin SA, nama aslinya Imam Syaiful Aziz, lahir di Lamongan 13 Maret 1986. Aktif  Kostela, PUstaka puJAngga, FSL, FP2L, dan Literacy Institut Lamongan. Karya-karyanya terpublikasi di: Majalah Gelanggang Unisda, Majalah Intervisi, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, Majalah Indupati, Warta Bromo, dan Radar Bojonegoro. Puisi-puisinya terantologi di: Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Memori Biru, Khianat Waktu, Kristal Bercahaya dari Surga, Gemuruh Ruh, Laki-Laki Tak Bernama, Kamasastra, Tabir Hujan, Sehelai Waktu, Kabar Debu, Tabir Hijau Bumi, Bineal Sastra Jawa Timur 2016, Pengembaraan Burung, Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala, dan Serenada. Prosa-prosanya terpublikasi di: Mushaf Pengantin, antologi cerpen Bukit Kalam, Hikayat Pagi dan Sebuah Mimpi, Bocah Luar Pagar, Hikayat Daun Jatuh, dan Tadarus Sang Begawan. Pernah dinobatkan sebagai Juara 3 Mengulas Karya Sastra Tingkat Nasional tahun 2010, Harapan 2 Lomba Menulis Cerpen Tingkat Jawa Timur 2018, dan Juara 2 Lomba Menulis Puisi Se-Kabupaten Lamongan 2019. Nomor telepon 085731999259. Instagram: Imamuddinsa. FB: Imamuddin.

Puisi-Puisi Imamuddin SA


PADA MUSIM YANG MENDUNG

musim tanam telah tiba, anakku

ia mengetuk-ngetukkan tangannya di dada ayahmu

tidak keras namun menyesakkan

setiap gerak jarinya merajut kemarau

walau tubuh hujan berkali membikin basah

adakah esok hari kan menghapus mimpiku?

betapa gersang ayahmu membumikan padi

sementara gedung dan rumah semakin rimbun

diguyur ingin

anakku yang meringkuk membidik resahku

beranjak memungut sepi dan memintalnya

lalu membekap dinginku


BACAAN LAINNYA:


TIDURLAH AYAH

JEMPUTLAH MIMPIMU DI DADAKU;


anakku, tubuh adalah tanah basah

yang menyembunyikan suburnya

maka pada musim yang mendung

aku akan membenamkan benih di dadamu

biar esok tumbuh padi di kepalamu

Balun, 2019.


MENUNGGU HUJAN

menunggu hujan memang membosankan

dingin yang baik hati selalu menemaniku

deras suaranya mengingatkan aku pada lelah

lelap yang biasa aku kucilkan di sudut waktu

“darahmu sedang beku di kamar

tulangmu sedang menggigil di dapur”

bisik rindu mengumpat dalam saku celanaku

Lamongan, 2019


SEONGGOK BATU YANG TAK UTUH

secarik kertas lusuh menantangku berduel

esok aku akan bercerita di hadapannya

jadi juara dan menyerah piagam gembira

di hati ibu dan ayah

ah sampai batas waktu

sebuah kisah masih tak menyapaku

dan aku ingin belajar bercerita kepadamu

“menjenguk kakek adalah jalanmu

beribu abjad selalu tersimpan

di sakunya untukmu”

katamu

aku singgahi kakekku dengan segengam mimpi

mimpi yang masih pagi

astaga, aku sapa namanya pada seonggok batu

yang tak utuh. tiap abjadnya bercerita

tentang tubuhnya nan dingin ditelan sepi

dan rindu doa dari darahnya yang masih tersisa

“ADALAH DOA, TEMAN SUNYI PERJALANANKU”

tutur kakekku dan batu

Lamongan, 2019


SEPERTI DEBU

seperti debu

darah berhamburan

di jalanmu;

jalan yang licin

karena diguyur hujan;

hujan air mata

yang mengantar tubuhmu

hening

Lamongan, 2019


KENANGAN, RINDU, DAN SEBUAH PERJAMUAN

apa kabar kenangan

semoga kau sehat dan tak menghapus namaku

dalam buku ceritamu. karena kau adalah kenangan

maka akulah rindu yang mengalir dalam rimbun doadoa

di antara waktu. ingin bertemu. karena itu

aku takkan pernah selesai mengundangmu

dalam perjamuan kecil jantungku.

“SALAM KANGEN! MENGHARAP DENGAN HORMAT

KEHADIRAN KENANGAN

BESOK PADA TAHUN, BULAN, TANGGAL, DAN HARI AHAD

DI RUMAH RINDU

CATATAN: HARAP TIDAK MEMBAWA CEMBURU

DAN BATU-BATU!”

selamat datang kenangan

entah berapa panjang usiamu

menumpuk dalam rak usangku berdebu

entah berapa bait cerita yang kau tulis pada tiktak waktu

berlalu. dengan damai, aku persilahkan dirimu

memintal istirah dalam rumahku

setelah hujan mengguyurmu dalam sepi

semoga kau tak masuk angin.

ini perjamuan, kita akan kembali

mencicipi hidangan kemarin

yang pernah kita bikin berdua.

secangkir kopi hitam

yang kita sedu dengan rintik hujan;

hujan perasaan nan runcing yang luruh dari mata kita

di antara mata-mata terjaga

dan kita saling membuat ombak kecil-kecilan

dalam cangkir kebesaran

waktu itu, mendadak matahari cemburu menitipkan antara

sebelum kita benar-benar tenggelam dalam kopi

yang masih hangat dan wangi

lalu kita sama-sama pergi

memburu matahari dengan mata letih.

“SEKARANG MATAKAKI TELAH MENEMUKAN MATAAIR SENDIRI

SETELAH MENGEJAR MATAHARI

TAK KUNJUNG BERHENTI

LALU KITA PERLAHAN MENGHAPUS HUJAN

DAN HANGAT KOPI

TANPA MEMBELAH CANGKIRNYA YANG SEPI.”

selamat menikmati kenangan

mari kita hangatkan kopi yang sempat dingin ini

dan kita cecap pekatnya sebelum matahari mengusik kembali.

sontak aku terpukul. mendadak kau tumpahkan kopi

yang sejak kemarin aku genggam bersama inginku:

sebuah ingin yang menjadi angan

angan yang menjelma angin.

“BIARLAH SECANGKIR KOPI TUMPAH INI HARI

SEBELUM HANGAT, SEBELUM MENGUAP,

SEBELUM AWAN, SEBELUM HUJAN:

HUJAN AIRMATA YANG AKAN MENGERUHKAN MATA

AIR KITA.”

selamat tinggal rindu

perlahan aku telah menghapusmu

karena itu, kita pun telah menjadi kenangan

beku

dalam airmata waktu: sirri tuturmu.

“MAKA AKU PUN MENJADI TANDA SERU

DALAM BUKU CERITAMU”

Balun, Juli 2019


KLIK DI SINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Featured Post

HABIB ALI ALHABSYI DENGAN KAROMAHNYA

KHARAMAH HABIB ALHABSYI:  BISA DENGAR SUARA TASBIH DAN BENDA MATI HABIB ALI ALHABSYI DENGAN KAROMAHNYA Habib Ali Alhabsyi nama lengkapnya H...